Makalah Kekerasan Pada Anak | Pengertian, Dampak Dan Solusi Penangan Kekerasan Pada Anak

Makalah Kekerasan Pada Anak

BAB I
PENDAHULUAN

Latar belakang
Anak adalah anugrah titipan Tuhan Yang Maha Esa. Mereka adalah buah hati yang perlu dijaga . Menjaga Anak bukan perkara mudah ,maka tidak heran jika orangtua atau Pengasuh anak terkadang gerah dengan sikap anak yang rewel ,tidak bisa diatur, dan terkadang susah untuk mengerti secara langsung apa yang kita katakan.Keadaan anak yang seperti ini terkadang memicu emosi para orang tua dan orang –orang terdekat yang mengasuh anak,selain itu karena dorongan ekonomi rumah tangga yang tidak stabil ,dan berbagai permasalahan yang tengah dihadapi memicu orang tua dan orang-orang yang tengah mengasuh anak menjadi stress ,akibatnya orang tua dan pengasuh anak biasanya melampiaskan emosinya pada anak yang bahkan tidak mengerti apa-apa.

Pasal 28b ayat 2 menyatakan bahwa “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminas”. Namun apakah pasal tersebut sudah dilaksanakan dengan benar? Seperti yang kita tahu bahwa Indonesia masih jauh dari kondisi yang disebutkan dalam pasal tersebut.
Banyak berita di media saat ini tengah membahas kekerasan dan Pengaiayaan yang terjadi hampir di seluruh penjuru Indonesia. Banyak penyebab dan faktor-faktor yang mempengaruhi prilaku kekerasan dan penganiayaan yang terjadi pada anak-anak di bawah umur.

Berbagai jenis kekerasan diterima oleh anak-anak, seperti kekerasan verbal, fisik, mental maupun pelecehan seksual. Ironisnya pelaku kekerasan terhadap anak biasanya adalah orang yang memiliki hubungan dekat dengan si anak, seperti keluarga, guru maupun teman sepermainannya sendiri. Tentunya ini juga memicu trauma pada anak, misalnya menolak pergi ke sekolah setelah tubuhnya dihajar ole gurunya sendiri.
Kondisi ini amatlah memprihatinkan, namun bukan berarti tidak ada penyelesaiannya. Perlu koordinasi yang tepat di lingkungan sekitar anak terutama pada lingkungan keluarga untuk mendidik anak tanpa menggunakan kekerasan, menyeleksi tayangan televisi maupun memberikan perlindungan serta kasih sayang agar anak tersebut tidak menjadi anak yang suka melakukan kekerasan nantinya. Tentunya kita semua tidak ingin negeri ini dipimpin oleh pemimpin bangsa yang tidak menyelesaikan kekerasan terhadap rakyatnya.

B. Rumusan Masalah
Kekerasan yang dilakukan banyak orang terhadap anak, mempunyai dampak yang kurang baik. adapun seperti beberapa pertanyaan di bawah ini, antara lain:
Ø  Apa pengertian anak menurut UU ?
Ø  Apakah kekerasan terhadap anak itu ?
Ø Faktor-faktor apa sajakah yang membuat seseorang sering melakukan tindakan kekerasan tersebut ?
Ø  Apa yang terjadi pada anak jika kekerasan yang dilakukan sangat menyiksa?
Ø  Berikan solusi untuk Mencegah Terjadinya Kekerasan Terhadap Anak?
Ø  Bagaimana upaya pemerintah untuk menyikap kekerasan tersebut ?

C. Tujuan Penulisan
Ø  Mengetahui sebab-sebab terjadinya kekerasan pada anak.
Ø  Mengidentifikasi faktor-faktor yang membuat seseorang melakukan tindakan kekerasan.
Ø  Mengetahui kondisi anak yang mengalami tindakan kekerasan.
Ø  Mencari solusi untuk mencegah terjadinya kekerasan terhadap anak.
Ø  Mencari tahu penyebab terjadinya kekerasan terhadap anak.

D. Manfaat Penulisan
Manfaat Penulisan dari karya ilmiah ini adalah untuk menyadari orangtua bahwa sebenarnya kekerasan terhadap anak tidak lagi pantas dilakukan, karena anak-anak juga mendapat perlindungan dari Komisi Perlindungan Anak. Disini juga anak-anak harus menjaga sikap sehingga emosi orangtua tidak terpancing untuk melakukan tindakan kekerasan. Oleh karena itu, perlu adanya kesadaran dari dalam diri, baik orangtua maupun anak.

BAB II
PEMBAHASAN

Pengertian Anak Menurut UU

a)   Dalam Pasal 1 nomor 2 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979, tentang Kesejahteraan anak disebutkan bahwa : “Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin”.
b)   Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 menyebutkan dalam pasal 1 nomor 1 bahwa: “Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur delapan tahun, tetapi belum mencapai umur 18 tahun danbelum pernah kawin”.
c)   Pengertian anak menurut UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak tercantum dalam Pasal I butir I UU No. 23/2002 berbunyi:  “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas tahun), termasuk anak yang masih dalam kandungan”.
d)    Dalam pengertian dan batasan tentang anak sebagaimana dirumuskan dalam pasal I butir I UU No.23/2002 ini tercakup 2 (dua) isu penting yang menjadi unsur definisi anak, yakni:

Pertama, seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun. Dengan demikian, setiap orang yang telah melewati batas usia 18 tahun, termasuk orang yang secara mental tidak cakap, dikualifikasi sebagai bukan anak, yakni orang dewasa. Dalam hal ini, tidak dipersoalkan apakah statusnya sudah kawin atau tidak.
Kedua, anak yang masih dalam kandungan. Jadi, UU No.23/2002 ini bukan hanya melindungi anak yang sudah lahir tetapi diperluas, yakni termasuk anak dalam kandungan.
Pengertian dan batasan usia anak dalam UU No. 23/2002, bukan dimaksudkan untuk menentukan siapa yang telah dewasa, dan siapa yang masih anak-anak. Sebaliknya, dengan pendekatan perlindungan, maka setiap orang (every human being) yang berusia di bawah 18 tahun – selaku subyek hukum dari UU No. 23/2002 – mempunyai hak atas perlindungan dari Negara yang diwujudkan dengan jaminan hukum dalam UU No. 23/2002.

Pengertian kekerasan terhadap anak

Banyak orangtua menganggap kekerasan pada anak adalah hal yang wajar. Mereka beranggapan kekerasan adalah bagian dari mendisiplinkan anak. Mereka lupa bahwa orangtua adalah orang yang paling bertanggung jawab dalam mengupayakan kesejahteraan, perlindungan, peningkatan kelangsungan hidup, dan mengoptimalkan tumbuh kembang anaknya. Keluarga adalah tempat pertama kali anak belajar mengenal aturan yang berlaku di lingkungan keluarga dan masyarakat. Sudah barang tentu dalam proses belajar ini, anak cenderung melakukan kesalahan. Bertolak dari kesalahan yang dilakukan, anak akan lebih mengetahui tindakan-tindakan yang bermanfaat dan tidak bermanfaat, patut atau tidak patut. Namun orang tua menyikapi proses belajar anak yang salah ini dengan kekerasan. Bagi orangtua, tindakan anak yang melanggar perlu dikontrol dan dihukum. bagi orangtua tindakan yang dilakukan anak itu melanggar sehingga perlu dikontrol dan dihukum.

 Wikipedia Indonesia (2006) memberikan pengertian bahwa kekerasan merujuk pada tindakan agresi dan pelanggaran (penyiksaan, pemerkosaan, pemukulan, dll.) yang menyebabkan atau dimaksudkan untuk menyebabkan penderitaan atau menyakiti orang lain. Istilah kekerasan juga berkonotasi kecenderungan agresif untuk melakukan perilaku yang merusak. Kekerasan terjadi ketika seseorang menggunakan kekuatan, kekuasaan, dan posisi nya untuk menyakiti orang lain dengan sengaja, bukan karena kebetulan (Andez, 2006). Kekerasan juga meliputi ancaman, dan tindakan yang bisa mengakibatkan luka dan kerugian. Luka yang diakibatkan bisa berupa luka fisik, perasaan, pikiran, yang merugikan kesehatan dan mental.kekerasan anak Menurut Andez (2006) kekerasan pada anak adalah segala bentuk tindakan yang melukai dan merugikan fisik, mental, dan seksual termasuk hinaan meliputi: Penelantaran dan perlakuan buruk, Eksploitasi termasuk eksploitasi seksual, serta trafficking/ jual-beli anak. Sedangkan Child Abuse adalah semua bentuk kekerasan terhadap anak yang dilakukan oleh mereka yang seharusnya bertanggung jawab atas anak tersebut atau mereka yang memiliki kuasa atas anak tersebut, yang seharusnya dapat di percaya, misalnya orang tua, keluarga dekat, dan guru.

Sebab terjadinya kekerasan pada anak

Banyak orang sukar memahami mengapa seseorang melukai anaknya. Masyarakat sering beranggapan bahwa orang yang menganiaya anaknya mengalami kelainan jiwa. Tetapi banyak pelaku penganiayaan sebenarnya menyayangi anak-anaknya namun cenderung bersikap kurang sabar dan kurang dewasa secara pribadi. Karakter seperti ini membuatnya sulit memenuhi kebutuhan anak-anaknya dan meningkatkan kemungkinan tindak kekerasan secara fisik atau emosional. Namun, tidak ada penjelasan yang menyeluruh tentang penganiayaan pada anak. Hal itu terjadi sebagai akibat kombinasi faktor dari kepribadian, sosial dan budaya.

Menurut Richard J. Gelles, Ph.D. Faktor-faktor penyebab penganiayaan ini dapat dikelompokkan dalam empat kategori utama, yaitu sebagai berikut :

Penyebaran perilaku jahat antar generasi
Banyak anak belajar perilaku jahat dari orang tua mereka dan kemudian berkembang menjadi tindak kekerasan. Jadi, perilaku kekerasan diteruskan antar generasi. Penelitian menunjukkan bahwa 30% anak-anak korban tindak kekerasan menjadi orang tua pelaku tindak kekerasan. Mereka meniru perilaku ini sebagai model ketika mereka menjadi orang tua kelak. Namun, beberapa ahli percaya bahwa yang menjadi penentu akhir adalah apakah anak menyadari bahwa perilaku kasar yang dialaminya tersebut salah atau tidak. Anak-anak yang yakin bahwa mereka berbuat salah dan pantas mendapat hukuman akan menjadi orang tua pelaku kekerasan lebih sering daripada anak-anak yang yakin bahwa orang tua mereka salah kalau berlaku kasar pada mereka.

Ketegangan Sosial
Stres yang ditimbulkan oleh berbagai kondisi sosial meningkatkan risiko tindak kekerasan pada anak dalam sebuah keluarga. Kondisi ini mencakup :
Ø  Pengangguran.
Ø  Sakit-penyakit.
Ø  Kemiskinan dalam rumah tangga.
Ø  Ukuran keluarga yang besar.
Ø  Kehadiran seorang bayi atau orang cacat mental dalam rumah.
Ø  Kematian anggota keluarga.
Ø  Penggunaan alkohol dan obat-obatan.

Isolasi social
Para orang tua atau pengasuh yang melakukan tindak kekerasan pada anak cenderung kurang bersosialisasi. Beberapa orang tua pelaku kekerasan bahkan bergabung dengan berbagai organisasi kemasyarakatan, dan kebanyakan kurang berkomunikasi dengan teman-teman atau kerabatnya. Kurangnya sosialisasi ini menyebabkan kurangnya dukungan masyarakat pada orang tua pelaku tindak kekerasan untuk menolong mereka menghadapi ketegangan sosial atau ketegangan dalam keluarga. Faktor budaya sering menentukan banyaknya dukungan komunitas yang diterima sebuah keluarga. Komunitas itu berupa para tetangga, kerabat dan teman-teman yang membantu pemeliharaan anak ketika orang tuanya tidak mau atau tidak mampu. Di AS, para orang tua sering menaruh tanggung jawab pemeliharaan pada diri anak sendiri, yang berisiko tinggi mengakibatkan tegangan dan tindak kekerasan pada anak.

Struktur Keluarga
Tipe keluarga tertentu memiliki risiko anak terlantar dan terjadi tindak kekerasan pada anak. Sebagai contoh :
Ø  Orang tua tunggal lebih sering melakukan tindak kekerasan pada anak-anak daripada bukan orang tua tunggal. Hal ini disebabkan keluarga-keluarga dengan orang tua tunggal biasanya lebih sedikit mendapatkan uang daripada keluarga lainnya, sehingga hal ini dapat meningkatnya risiko tindak kekerasan.
Ø   Keluarga-keluarga dengan keretakan perkawinan yang kronis atau tindak kekerasan pada pasangannya mempunyai tingkat tindak kekerasan pada anak lebih tinggi daripada keluarga-keluarga tanpa masalah seperti ini.
Ø   Keluarga-keluarga yang didalamnya baik suami atau istri mendominasi pengambilan keputusan yang penting – seperti dimana mereka akan tinggal, apa pekerjaan yang dilakukan, kapan mempunyai anak, dan berapa banyak uang yang dihabiskan untuk makanan dan rumah – mempunyai tingkat tindak kekerasan pada anak lebih tinggi daripada keluarga-keluarga yang di dalamnya para orang tua membagi tanggung jawab untuk keputusan-keputusan ini.

Dampak kekerasan pada anak
 Efek tindakan dari korban penganiayaan fisik dapat diklasifikasikan dalam beberapa kategori. Ada anak yang menjadi negatif dan agresif serta mudah frustasi; ada yang menjadi sangat pasif dan apatis; ada yang tidak mempunyai kepibadian sendiri; ada yang sulit menjalin relasi dengan individu lain dan ada pula yang timbul rasa benci yang luar biasa terhadap dirinya sendiri. Selain itu Moore juga menemukan adanya kerusakan fisik, seperti perkembangan tubuh kurang normal juga rusaknya sistem syaraf.

Anak-anak korban kekerasan umumnya menjadi sakit hati, dendam, dan menampilkan perilaku menyimpang di kemudian hari. Bahkan, Komnas PA (dalam Nataliani, 2004) mencatat, seorang anak yang berumur 9 tahun yang menjadi korban kekerasan, memiliki keinginan untuk membunuh ibunya.

Berikut ini adalah dampak-dampak yang ditimbulkan kekerasan terhadap anak (child abuse) , antara lain;
Ø  Dampak kekerasan fisik, anak yang mendapat perlakuan kejam dari orang tuanya akan menjadi sangat agresif, dan setelah menjadi orang tua akan berlaku kejam kepada anak-anaknya. Orang tua agresif melahirkan anak-anak yang agresif, yang pada gilirannya akan menjadi orang dewasa yang menjadi agresif. Lawson (dalam Sitohang, 2004) menggambarkan bahwa semua jenis gangguan mental ada hubungannya dengan perlakuan buruk yang diterima manusia ketika dia masih kecil. Kekerasan fisik yang berlangsung berulang-ulang dalam jangka waktu lama akan menimbulkan cedera serius terhadap anak, meninggalkan bekas luka secara fisik hingga menyebabkan korban meninggal dunia.
Ø  Dampak kekerasan psikis. Unicef (1986) mengemukakan, anak yang sering dimarahi orang tuanya, apalagi diikuti dengan penyiksaan, cenderung meniru perilaku buruk (coping mechanism) seperti bulimia nervosa (memuntahkan makanan kembali), penyimpangan pola makan, anorexia (takut gemuk), kecanduan alkohol dan obat-obatan, dan memiliki dorongan bunuh diri. Menurut Nadia (1991), kekerasan psikologis sukar diidentifikasi atau didiagnosa karena tidak meninggalkan bekas yang nyata seperti penyiksaan fisik.
Ø  Dampak kekerasan seksual. Menurut Mulyadi (Sinar Harapan, 2003) diantara korban yang masih merasa dendam terhadap pelaku, takut menikah, merasa rendah diri, dan trauma akibat eksploitasi seksual, meski kini mereka sudah dewasa atau bahkan sudah menikah. Bahkan eksploitasi seksual yang dialami semasa masih anak-anak banyak ditengarai sebagai penyebab keterlibatan dalam prostitusi. Jika kekerasan seksual terjadi pada anak yang masih kecil pengaruh buruk yang ditimbulkan antara lain dari yang biasanya tidak mengompol jadi mengompol, mudah merasa takut, perubahan pola tidur, kecemasan tidak beralasan, atau bahkan simtom fisik seperti sakit perut atau adanya masalah kulit, dll (dalam Nadia, 1991);
Ø  Dampak penelantaran anak. Pengaruh yang paling terlihat jika anak mengalami hal ini adalah kurangnya perhatian dan kasih sayang orang tua terhadap anak,  Hurlock (1990) mengatakan jika anak kurang kasih sayang dari orang tua menyebabkan berkembangnya perasaan tidak aman, gagal mengembangkan perilaku akrab, dan selanjutnya akan mengalami masalah penyesuaian diri pada masa yang akan datang.

Dampak kekerasan terhadap anak lainnya (dalam Sitohang, 2004) adalah kelalaian dalam mendapatkan pengobatan menyebabkan kegagalan dalam merawat anak dengan baik. Kelalaian dalam pendidikan, meliputi kegagalan dalam mendidik anak mampu berinteraksi dengan lingkungannya gagal menyekolahkan atau menyuruh anak mencari nafkah untuk keluarga sehingga anak terpaksa putus sekolah.

Solusi mencegah kekerasan terhadap anak

Pendidikan dan Pengetahuan Orang Tua Yang Cukup

Dari beberapa faktor yang telah kita bahas diatas, maka perlu kita ketahui bahwa tindak kekerasan terhadap anak, sangat berpengaruh terhahap perkembangannya baik psikis maupun fisik mereka. Oleh karena itu, perlu kita hentikan tindak kekerasan tersebut. Dengan pendidikan yang lebih tinggi dan pengetahuan yang cukup diharapkan orang tua mampu mendidik anaknya kearah perkembangan yang memuaskan tanpa adanya tindak kekerasan.

Keluarga Yang Hangat Dan Demokratis

Psikolog terpesona dengan penelitian Harry Harlow pada tahun 60-an memisahkan anak-anak monyet dari ibunya, kemudian ia mengamati pertumbuhannya. Monyet-monyet itu ternyata menunjukkan perilaku yang mengenaskan, selalu ketakutan, tidak dapat menyesuaikan diri dan rentan terhadap berbagai penyakit. Setelah monyet-monyet itu besar dan melahirkan bayi-bayi lagi, mereka menjadi ibu-ibu yang galak dan berbahaya. Mereka acuh tak acuh terhadap anak-anaknya dan seringkali melukainya.

Dalam sebuah study terbukti bahwa IQ anak yang tinggal di rumah yang orangtuanya acuh tak acuh, bermusuhan dan keras, atau broken home, perkembangan IQ anak mengalami penurunan dalam masa tiga tahun. Sebaliknya anak yang tinggal di rumah yang orang tuanya penuh pengertian, bersikap hangat penuh kasih sayang dan menyisihkan waktunya untuk berkomunikasi dengan anak-anaknya, menjelaskan tindakanya, memberi kesempatan anak untuk mengambil keputusan, berdialog dan diskusi, hasilnya rata-rata IQ ( bahkan Kecerdasan Emosi ) anak mengalami kenaikan sekitar 8 point.

Hasil penelitian R. Study juga membuktikan bahwa 63 % dari anak nakal pada suatu lembaga pendidikan anak-anak dilenkuen ( nakal ), berasal dari keluarga yang tidak utuh ( broken home ). Kemudian hasil penelitian K. Gottschaldt di Leipzig ( Jerman ) menyatakan bahwa 70, 8 persen dari anak-anak yang sulit di didik ternyata berasal dari keluarga yang tidak teratur, tidak utuh atau mengalami tekanan hidup yang terlampau berat. (Ahmad, Aminah . 2006 : 1).

Membangun Komunikasi Yang Efektif

Kunci persoalan kekerasan terhadap anak disebabkan karena tidak adanya komunikasi yang efektif dalam sebuah keluarga. Sehingga yang muncul adalah stereotyping (stigma) dan predijuce (prasangka). Dua hal itu kemudian mengalami proses akumulasi yang kadang dibumbui intervensi pihak ketiga. Sebagai contoh kasus dua putri kandung pemilik sebuah pabrik rokok di Malang Jawa Timur. Amy Victoria Chan (10) dan Ann Jessica Chan (9) diduga jadi korban kekerasan dari ibu kandung mereka saat bermukim di Kanada. Ayahnya terlambat tahu karena sibuk mengurus bisnis dan hanya sesekali mengunjungi mereka. Mereka dituntut ibunya agar meraih prestasi di segala bidang sehingga waktu mereka dipenuhi kegiatan belajar dan beragam kursus seperti balet, kumon, piano dan ice skating. Jika tidak bersedia, mereka disiksa dengan segala cara. Mereka juga pernah dibiarkan berada di luar rumah saat musim dingin.(Kompas edisi 24 Januari 2006). Kejadian ini mungkin tidak terjadi jika ayahnya selalu mendampingi anak-anaknya.

Untuk menghindari kekerasan terhadap anak adalah bagaimana anggota keluarga saling berinteraksi dengan komunikasi yang efektif. Sering kita dapatkan orang tua dalam berkomunikasi terhadap anaknya disertai keinginan pribadi yang sangat dominan, dan menganggap anak sebagai hasil produksi orang tua, maka harus selalu sama dengan orang tuanya dan dapat diperlakukan apa saja.

Orang tua yang selalu khawatir dan selalu melindungi

Anak yang diperlakukan dengan penuh kekhawatiran, sering dilarang dan selalu melindungi, akan tumbuh menjadi anak yang penakut, tidak mempunyai kepercayaan diri, dan sulit berdiri sendiri. Dalam usaha untuk mengatasi semua akibat itu, mungkin si anak akan berontak dan justru akan berbuat sesuatu yang sangat dikhawatirkan atau dilarang orang tua. Konflik ini bisa berakibat terjadinya kekerasan terhadap anak

Orang tua yang terlalu menuntut

Anak yang dididik dengan tuntutan yang tinggi mungkin akan mengambil nilai-nilai yang terlalu tinggi sehingga tidak realistic. Bila anak tidak mau akan terjadi pemaksaan orang tua yang berakibat terjadinya kekerasan terhadap anak seperti contoh kasus di atas.

Orang tua yang terlalu keras

Anak yang diperlakukan demikian cenderung tumbuh dan berkembang menjadi anak yang penurut namun penakut. Bila anak berontak terhadap dominasi orang tuanya ia akan menjadi penentang. Konflik ini bisa berakibat terjadi kekerasan terhadap anak. (Erwin. 1990 : 31 – 32).

Upaya yang dilakukan pemeritahan

Mengsosialisasi Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi pada perempuan dan anak-anak merupakan masalah yang sulit di atasi. Umumnya masyarakat menganggap bahwa anggota keluarga itu milik laki-laki dan masalah kekerasan di dalam rumah tangga adalah masalah pribadi yang tidak dapat dicampuri oleh orang lain. Sebetulnya Indonesia telah meratifikasi konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan dan Undang-Undang No. 7/1984, Undang-undang no. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak serta Undang-Undang No. 29 tahun 1999. (Suprapti, 2006 : 4). Sering pejabat terkait seperti Kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman masih banyak yang kurang memahami sehingga setiap ada kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak atau Hak Azazi Manusia masih selalu mengacu pada KUH Pidana.

Oleh karena itu kita merasa sangat perlu untuk mensosialisasikan UU No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, karena keutuhan dan kerukunan rumah tangga yang bahagia, aman, tentram dan damai merupakan dambaan setiap orang dalam rumah tangga agar dapat melaksanaan hak dan kewajibannya yang didasari oleh agama, perlu dikembangkan dalam membangun keutuhan rumah tangga.

Sosialisasi ini bisa melalui banyak cara antara lain penayangan iklan di televisi, melalui radio, poster, penataran, seminar dan distribusi buku UU tersebut ke masyarakat umum, akademisi, instansi pemerintah termasuk lini paling depan yaitu ibu-ibu PKK. UU No. 23/2004 sebetulnya masih kurang memuaskan karena bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak masih merupakan delik aduan, maksudnya adalah korban sendiri yang melaporkan secara langsung kekerasan dalam rumah tangga kepada kepolisian. Penelitian membuktikan bahwa kekerasan terhadap anak justru dilakukan oleh orang dekat artinya orang yang dikenal oleh korban. Pelaku tindak kekerasan fisik dan seksual menurut pemantauan Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jawa Barat tahun 2003 adalah orang-orang terdekat yaitu tetangga, orang tua, paman, kakek, teman, pacar serta saudara. Hal ini dapat juga dilihat dari lokasi tindak kekerasan paling banyak terjadi di rumah korban atau rumah pelaku.Setidaknya ini menunjukkan bahwa pelaku adalah orang yang dekat dengan korban. (Pikiran Rakyat, edisi 20 Januari 2006.

BAB III
PENUTUP
1.    Kesimpulan
Kekerasan terhadap anak adalah segala bentuk perlakuan baik secara fisik maupun psikis yang berakibat penderitaan terhadap anak.

Macam-macam kekerasan terhadap anak:
1)    Penyiksaan Fisik (Physical Abuse).
2)    Penyiksaan Emosi (Psychological/Emotional Abuse).
3)    PelecehanSeksual(SexualAbuse).
4)    Pengabaian (Child Neglect).
Adapun faktor penyebab terjadinya kekerasan:
1)    Lingkaran kekerasan
2)    Stres dan kurangnya dukungan
3)    Pecandu alkohol atau narkoba
4)    Menjadi saksi kekerasan dalam rumah tangga
5)    Kemiskinan dan akses yang terbatas ke pusat ekonomi dan sosial saat masa-masa krisis.
6)    Peningkatan krisis dan jumlah kekerasan di lingkungan sekitar mereka.
Dan dampak dari kekerasan tersebut ialah:
1)    Kerusakan fisik atau luka fisik;
2)    Anak akan menjadi individu yang kurang percaya diri, pendendam dan  agresif
3)    Memiliki perilaku menyimpang, seperti, menarik diri dari lingkungan, penyalahgunaan obat dan alkohol, sampai dengan kecenderungan bunuh diri;
4)    Jika anak mengalami kekerasan seksual maka akan menimbulkan trauma mendalam pada anak, takut menikah, merasa rendah diri.

2.    Saran
Dokter sebagai klinisi yang bertugas di lapangan harus mempunyai kemampuan dalam mengenali segala kemungkinan bentuk penyiksaan dan penelantaran anak, terutama sekali dari kunjungan pasien ke tempat prakteknya. Manifestasi klinis yang didapatkan pada korban penyiksaan dan penelantaran anak jelas berbeda dengan manifestasi klinis pada kasus kecelakaan biasa. Sehingga diharapkan dokter dapat lebih jeli dalam mengenalinya.

 Dokter mempunyai kewajiban untuk mendata bentuk penyiksaan itu dan kemudian bekerjasama dengan pihak lain seperti pekerja sosial dan penegak hukum dalam penindaklanjutan kasus penyiksaan dan penelantaran anak. Orangtua juga mempunyai kewajiban mendidik anaknya dengan baik tidak berupah dengan kekerasan fisik atau mental.

Gambar Ilustrasi
makalah kekerasan ada anak
Sumber Gambar: netralnews.com
DOWNLOAD MAKALAH KEKERASAN PADA ANAK




Posting Komentar

0 Komentar