Contoh Pedoman Membuat Critical Book Report Buku Dede Rosyada

Contoh Pedoman Membuat Critical Book Report Buku Dede Rosyada





Contoh CBR (Critical Book Report)

BAB I
PENGANTAR 
Latar Belakang
Permasalahan pendidikan di Indonesia masih banyak dan beragam yaitu kualitas pendidikan yang masih rendah dan pemerataan pendidikan yang sesuai dengan standar pendidikan nasional masih belum tercapai, sehingga ketika pemerintah melaksanakan ujian nasional maka muncul beberapa permasalahan yang tidak seimbang antara kota dan desa terutama daerah-daerah di luar pulau jawa, maka hasil UN di Indonesia tidak seimbang antara perkotaan dengan pedesaan. Hal iu disebabkan oleh belum terpenuhi standar sarana-prasana, standar proses, standar kompetensi guru dan lain-lain.

Pendidikan nasional adalah suatu sistem yang memuat teori praktek pelaksanaan pendidikan yang berdiri di atas landasan dan dijiwai oleh filsafat bangsa yang bersangkutan guna diabdikan kepada bangsa itu untuk merealisasikan cita-cita nasionalnya. Pendidikan nasional Indonesia adalah suatu sistem yang mengatur dan menentukan teori dan pratek pelaksanaan pendidikan yang berdiri di atas landasan dan dijiwai oleh flisafat bangsa Indonesia yang diabdikan demi kepentingan bangsa dan negara Indonesia guna memperlanar mencapai cita-cita nasional Indonesia. Filsafat pendidikan nasional Indonesia adalah suatu sistem yang mengatur dan menentukan teori dan praktek pelaksanaan pendidikan yang berdiri di atas landasan dan dijiwai oleh filsafat hidup bangsa “Pancasila” yang diabdikan demi kepentingan bangsa dan negara Indonesia dalam usaha merealisasikan cita-cita bangsa dan negara Indonesia.

1.2. Tujuan Critical Book Report
1.   Memenuhi tugas wajib mata kuliah Filsafat Pendidikan
2.   Mengetahui dan memahami paradigma pendidikan demokratis di Indonesia
3.   Mengkritik sebuah buku yang berjudul Paradigma Pendidikan Demokratis

1.3. Manfaat
1.   Menambah wawasan pembaca tentang perkembangan pendidikan yang terjadi di Indonesia
2.   Menambah pengetahuan penyusun dan pembaca tentang critical book report
3.   Mengetahui kelibatan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan yang terjadi di Indonesia

BAB II
IDENTITAS BUKU

Contoh Pedoman Membuat Critical Book Report Buku Dede Rosyada

Judul Buku : Paradigma Pendidikan Demokratis “ Sebuah Model Pelibatan Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Pendidikan”
Penulis  : Dr. Dede Rosyada, MA
Penerbit  : PRENADA MEDIA
ISBN  : 979-3465-06-2
Tahun Terbit  : 2004
Jumlah Halaman  : xi + 329 halaman




BAB III
RINGKASAN ISI BUKU

BAB I  MENUJU PENDIDIKAN DEMOKRASI
A.  Mengapa Reformasi dalam Pendidikan
       Demokrasi penyelenggaraan sekolah kini bukan lagi sekedar gagasan akademik, tetapi sudah menjadi sebuah keputusan politik yang memperoleh landasan legal dan dukungan konsepsional, bahkan telah memiliki teori-teori yang holistic serta sudah terintrumentasi untuk diimplementasikan dalam praktik penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Secara akademi, demokrasi penyelenggaraan sekolah memiliki argumentasi yang rasional dan sitematis, karena inti dalam demokrasi adalah pelibatan dalam semua unsur dalam penyelengaraan pendidikan, baik dalam konteks mendorong aspirasi publik dalam evaluasi dan perkembangan kurikulum yang sesuai dengan permintaan client dan perkembangan ilmu serta teknologi.
Demokrasi harus dimulai dari proses evaluasi dan pengambangan kurikulum  atau konteks penyusunan kurikulum sekolah secara keseluruhan, tetapi juga dalam proses implementasi pada setiap mata pelajaran untuk menetapkan batas-batas awal kurikulum yang harus diajarkan.
Perkembangan menuntut perubahan. Dibandingkan dengan lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya, sekolah termasuk lembaga yang ‘malas’ untuk berubah, bahkan cenderung tidak mau berubah. Biang keladi permasalahan itu adalah paradigm lama. Dalam paradigm lama, pendidikan adalah tanggung jawab sekolah dan para pengelola indrustri pendidikan. Lepas dari macam apa yang dan seberapa besar atau jauh tangung jawab itu.
Memasuki abad ke-21, isu tentang perbaikan sektor pendidikan di Indonesia mencuat ke permukaaan, tidak hanya dalam  jalur pendidikan umum , tetapi semua jalur dan jenjang pendidikan. Hal tersebut disebabkan pendidikan Indonesia tertinggal jauh dengan pendidikan Negara-negara lain seperti Singapura, Jepang, dan Malaysia, baik dalam aspek prestasi pendidikan maupun rata-rata lamanya setiap anak bersekolah. Bahkan kalau dilihat dari indek sumber daya manusia yang salah satu indikatornya adalah sektor pendidikan, posisi Indonesia kian menurun dari tahun ke tahun.
Lemahnya SDM hasil pendidikan juga mengakibatkan lambannya Indonesia bangkit dari keterpurukan sektor ekonomi yang merosot secara signifikan di tahun 1998. Namun saat negara-negara ASEAN lain sudah pulih, Indonesia masih belum mampu melakukan recovery dengan baik. Oleh karena itu, keluaran pendidikan ke depan harus siap berkompetisi dalam memasuki pasar tenaga kerja yang tidak saja di dalam negeri tetapi juga di negara-negara lain dunia. Mereka harus memiliki wawasan global, berpikir yang mendunia, memahami berbagai keterampilan dalam komunikasi global, menguasai berbagai keterampilan dalam penggunaaan alat-alat teknologi moderen, serta harus memiliki basis keahlian yang sesuai serta relevan dengan kebutuhan pasar. 
Terkait dengan permasalahan yang sedikitnya telah dipaparkan di atas dan terkait dengan harapan terbentuknya hasil pendidikan yang siap untuk berkompetisi dengan negara-negara lain berikut ada beberapa pemikiran tentang pengembangan konteks pendidikan.
1.   Pengenbangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta informasi membuat bahan-bahan ajar yang harus disampaikan dalam proses pendidikan menjadi sangat banyak, dan dikhawatirkan akan membuat stagnasi pengembangan ilmu dan peradaban, khususnya pada level pendidikan tinggi.
2.   Pendidkan harus mampu menjembatani antara sector kerja dengan kemajuan ilmu dan teknologi melalui pembaharuan skill dan keterampilan serta berbagai temuan baru yang harus dikuasai oleh pekerjaan oleh pekerja yang terkait dengan kemajuan ilmu dan teknologi.
3.   Dilihat berdasarkan segi angka kelahiran negara maju yang terus merosot, hal ini merupakan salah satu kesempatan bagi negara berkembang seperti Indonesia yang angka kelahirannya lebih meningkat daripada negara maju untuk terus menghasilkan pendidikan yang siap memiliki skill dan keterampilan agar dapat bersaing mendapatkan peluang kerja yang dibutuhkan negara maju.
4.   Segi politik, pendidikan harus mampu membuka cakrawalaglobal dari segi tersebut. Mampu mengarahkan sikap-sikap multikulturalisme, yang harus dimiliki ketika memasuki pasar tenaga kerja di dalam maupun luar negeri.
5.   Kemajuan ilmu dan teknologi yang mendorong kemajuan sector ekonomi dengan keterbukaan pasar globa, akan membawa implikasi terbentuknya masyarakat tersebut sebagai masyarakat humanis, cinta lingkungan, memelihara kestabilan ekosistem, dan senantiasa hidup sehat.

       Faktor penting yang mendasari pentingnya reformasi pendidiakan adalah,
1.   Kegagalan pendidikan yang telah dilalui beberapa tahun silam dengan indicator rendahnya kualitas rata-rata hasil belajar siswa yang akan memasuki jenjang perguruan tinggi.
2.   Perkembangan perekonomian dunia yang membuka akses pasar global, yang semuanya itu merupakan peluang sekaligus ancaman, yang harus dihadapi dengan kesiapan kualitas SDM kompetitif.

B.   Apa Reformasi Pendidikan
Isu reformasi pendidikan bukan sesuatu yang baru. Gagasan pembaharuan pendidikan sudah bergukir lama di Indonesia. Akan tetapi, reformasi di Indonesia merupakan sebuah gerakan yang memiliki perspektif sejarah politik monumental, karena era reformasi sebagai sebuah era pemerintahan subtanstitusi pemerintahan orde baru.
Reformasi pendidikan telah mengubah paradigma guru dari pekerjaan yang dedikasi tanpa mempertimbangkan profesionalisme, menjadi sebuah profesi, yakni seorang bisa berdiri di depan kelas untuk mendampingi para siswa mengembangkan proses pembelajarannya, jika telah terbukti memiliki kualifikasi professional, dengan empat kompetensi utama, yaitu kompetensi professional, pedagogik, personal dan sosial. Menurut Walker (1997:80), reformasi pendidikan itu meiliki jangkauan yang luas, yaitu menjangkau semua orang, kelompok  dan unsure-unsur yang terkait dengan pelaksanaan pendidikan, yakni siswa-siswi sekolah itu sendiri, para guru, orang tua siswa, pimpinan sekolah, kantor pemerintah, buku teks dan penerbit buku teks serta unsure-unsur lainnya.

C.   Apa dan Mengapa Sekolah Demokratis
Isu sekolah demokratis di Indonesia memang relatif baru dan belum terbiasa dalam wacana akademik bidang pendidikan, walaupun pekerjaannya sudah dimulai sejak lama, bahkan mungkin sejak jaman orde baru. Pendidikan demokratis harus diimbangi dengan perhatian yang kuat terhadap hak-hak asasi manusia. Oleh sebab itu, persoalan kesejahteraan  para guru, serta semua yang terkait dengan pengelolaan sekolah atau madrasah harus menjadi perhatian serius, dan manajemen harus dilakaukan seraca terbuka, khususnya dalam aspek-aspek yang termasuk wilayah publik ahrsu diokelola secara transparan.
Sejalan dengan hal tersebut, James A. Beane dan Micheal W. Apple mendefisnisikan, bahwa sekolah demokratis tiada lain adalah mengimplementasikan pola-pola demokratis dalam pengelolaan sekolah yang secra umum mencakup dua aspek yakni struktur organisasi dan prosedur kerja dalam struktur tersebut, serta merancang kurikulum yang dapat mengantarkan anak-anak didik memiliki berbagai pengalaman tentang praktik-praktik demokratis (Beane and Micheal W. Apple, 1995:9), dengan kata lain sekolah demokrtis adalah sekolah yang dikelola dengan struktur yang memungkinkan praktik-praktik itu terlaksana, seperti perlibatan masyarakat dalam membahas program-program sekolah dan prosedur pengambilan keputusan juga memperhatikan berbagai aspirasi publik, serta dapat dipertanggungjawabkan implementasinya kepada public. Demikian pula dengan pola pembinaan siswa, tanpa membedakan anatara yang sudah pintar dengan yang belum pinter, tidak membedakan yang rajin dengan yang belum rajin, semuanya memperoleh perlakuan, walaupun bentuknya mungkin berbeda.
Oleh sebab itu, memenuhi misi pendidikan sehingga terbentuknya sekolah demokrasi dapat dilihat dari aspek pelksanaan pembelajaran, yaitu terpenuhi misi pendidikan sangat tergantung pada kemampuan guru untuk menanamkan setting  demokrasi kepada siswa, dengan member kesempatan seluas-luanya pada siswa untuk belajar. Sekolah menjadi tempat yang nyaman bagi siswa untuk semaksimal mungkin mereka belajar. Sekolah bukan tempat pertunjukan bagi guru, tetapi tempat siswa menambah dan memperkaya pengalaman belajaranya.

BAB II  DEMOKRASI PENGEMBANGAN KURIKULUM
A.  Pengertian dan Karakteristik Kurikulum
       Kurikulum merupakan inti dari sebuah sekolah, karena kurikulumlah yang mereka tawarkan kepada publiknya, dengan dukungan SDM guru yang berkualitas, serta sarana sumber belajar lainnya yang memadai. Dalam konteks ini Ronald C. Doll menjelaskan bahwa kurikulum sudah tidak lagi bermakna sebagai rangkaian bahan yang akan dipelajari serta urutan pelajaran yang akan dipelajari siswa, tetapi seluruh pengalaman yang ditawarkan pada anak-anak peserta didik di bawah arahan dan bimbingan sekolah (Doll, 1964:15). Melalui kesimpulannya, Doll hendak menegaskan bahwa kurikulum itu adalah perencanaan yang ditawarkan, bukan yang diberikan, karena pengalaman yang diberikan guru belum tentu ditawarkan. Dengan demikian seluruh konsep pendidikan di sekolah itu bisa harus ideal. Kurikulum harus bicara keharusan, dan bukan kemungkinan.
    Sesuai pengertian di atas, maka kurikulum, sebagaimana dikemukakan Sukmadinata   memiliki beberapa karakteristik, yaitu:
1.   Kurikulum sebagai suatu substansi, yakni bahwa kurikulum adalah sebuah rencana kegiatan belajar para siswa di sekolah, yang mencakup rumusan-rumusan tujuan, bahan ajar, proses kegiatan pembelajaran, jadwal dan evaluasi hasil belajar.
2.   Kurikulum sebagai sebuah sistem, yakni bahwa kurikulum merupakan rangkaian konsep tentang berbagai kegiatan pembelajaran yang masing-masing unit kegiatan memiliki keterkaitan secara koheren dengan lainnya, dan bahwa kurikulum itu sendiri memiliki keterkaitan dengan semua unsur dalam sistem pendidikan secara keseluruhan.
3.   Kurikulum merupakan sebuah konsep yang dinamis, yakni bahwa kurikulum merupakan konsep yang terbuka dengan berbagai gagasan perubahan serta penyesuaian-penyesuaian dengan tuntutan pasar atau tuntutan idealisme pengembangan peradaban umat manusia.
      Menurut Taba kurikulum biasanya terdiri dari pernyataan-pernyataan tentang tujuan umum, tujuan khusus, yang mengindikasi kelompok bahan-bahan ajar terpilih, yang juga menyatakan tentang model-model pelaksanaan proses pembelajaran, dan juga mencakup program evaluasi hasil belajar. Sementara Robert Gagne menegaskan, bahwa kurikulum adalah sekwensi isi dan bahan pelajaran yang dideskripsikan sedemikian rupa sehingga pembelajaran setiap unitnya itu dapat diselesaikan sebagai sebuah satuan utuh, dan masing-masing unit tersebut juga mendeskripsikan kompetensi siswa yang harus dikuasai mereka.
       Bersamaan dengan itu, Allan A.Glatthorn juga menjelaskan tiga variabel penting dalam                 pengelolaan dan pengembangan sekolah, dan menjadi bagian integral dari hidden    curriculum (Glatthorn, 1987:22), yaitu:
1.   Variabel organisasi, yakni kebijakan penugasan guru dan pengelompokan siswa untuk proses pembelajaran, yang dalam konteks ini ada empat isu yang pantas menjadi perhatian, yakni team teaching, kebijakan promosi (kenaikan kelas), pengelompokan siswa berdasarkan kemampuan, dan pemfokusan kurikulum.
2.   Variabel sistem sosial, yakni suasana sekolah yang tergambar dari pola-pola hubungan semua komponen sekolah..
3.   Variabel budaya, yakni dimensi sosial yang terkait dengan sistem kepercayaan, nilai-nilai, dan struktur kognitif.
       Tiga variabel di atas merupakan bagian-bagian penting dari hidden curriculum yang secara teoretis akan sangat mempengaruhi perkembangan sikap dan perilaku siswa. Semakin konsisten tiga variabel tersebut terpelihara dalam konsep-konsep idealnya, maka akan semakin besar peluang sekolah melahirkan siswa-siswa sesuai ekspektasi masyarakat penggunanya.
       Paul Westmeyer menggambarkan bahwa yang harus menjadi pertimbangan utama dalam penyusunan kurikulum adalah perkembangan psikologis anak, baik dalam mempertimbangkan materi pelajaran yang akan disampaikan, maupun dalam mengembangkan aktivitas belajar mereka. Bersamaan dengan itu, kurikulum juga harus disusun setelsh melakukan analisis kebutuhan. Dengan demikian, pengembangan kurikulum, selain harus mempertimbangkan peerkembangan psikologis anak, juga harus mempertimbangkan kemajuan-kemajuan IPTEK, sehingga anak tidak mengalami kegagalan penyesuaian diri di sekolah. Rancangan kurikulum sudah bisa dikembangkan dengan merumuskan berbagai standar kompetensi yang diawali pada identifikasi kompetensi untuk setiap jenjang pendidikan, yang akan menjadi rujukan untuk menyususn standar kompetensi pada setiap level dan pada setiap mata pelajaran. Dan dengan standar kompetensi tersebut juga bisa disusun indikator-indikator kompetensi serta materi-materi pokok yang bisa dikembangkan oleh para guru, baik pada aspek indikator kompetensinya, maupun pengembangan materi bahan ajarnya. Kurikulum ideal adalah yang mengintegrasikan antara kurikulum tertulis untuk dipelajari serta hidden curriculum yang mendukung perkembangan sikap, dan kebiasaan-kebiasaan siswa tersebut.
       Pergeseran kurikulum berbasis tujuan pada kurikulum berbasis kompetensi, tidak membawa implikasi filosofis yang signifikan, karena outcome dari kurikulum berbasis tujuan juga adalah rangkaian kompetensi siswa, dan rumusan-rumusan tujuan yang dikemukakan dalam kurikulum tersebut menggambarkan kompetensi yang terukur. Dengan demikian, kurikulum berbasis kompetensi sebenarnya adalah penegasan terhadap berbagai tujuan yang lazim dalam kurikulum berbasis tujuan. Hanya saja, kompetensi siswa lebih tampak dalam pemetaan konsep hasil belajar.
Wiles dan Bondi, menegaskan bahwa perencanaan kurikulum itu dipengaruhi oleh lima ranah pendidikan, yakni filsafatdan tujuan pendidikan, dan perkembangan sistem pembelajaran, perkembangan materi, manajemen, serta pendidikan guru (Wiles, 1989:12). Setidaknya ada lima aliran filsafat yang mempengaruhi pendidikan di dunia ini, baik dalam konteks kini maupun waktu lalu, lima aliran tersebut antara lain adalah:
1.   Aliran perenialisme, berprinsip bahwa pendidikan untuk hidup, dan hidup harus dihadapi dengan kemampuan rasional, karena kebaikan atau keburukan ditentukan oleh logika manusia, dan juga oleh Tuhan melalui prosespewahyuan.
2.   Aliran idealisme, berpandangan bahwa pendidikan harus dilakukan untuk mempertajam kemampuan proses intelektual setiap anak untuk mewujudkan kebijakan pada zamannya dan untuk mewujudkan perilaku yang patut dicontoh, karena aliran ini berpandangan bahwa kebaikan adalah pernyataan ideal yang ada dalam otak dan harus diperjuangkan untuk dicapai melalui transformasi nilai-nilai dalam proses pembelajaran disertai dengan contoh-contoh yang diperlihatnya guru di sekolah.
3.   Aliran realisme, berpendapat bahwa kebenaran terdapat di alam semesta dan alam adalah sebagaimana adanya.
4.   Aliran eksperimentalisme, berpandangan bahwa alam ini terus dalam perubahan, akan tetapi perubahan itu sebenarnya merupakan hasil eksperimen, dan kebenaran adalah apa yang benar-benar diterima oleh publik.
5.   Aliran eksistensialisme memandang bahwa kebenaran, kebaikan serta alam semesta merupakan definisi-definisi personal, setiap orang memilki kebebasan untuk menentukan ukuran-ukuran kebenaran dan kebaikannya.
       Sementara itu Glenys G.Unruh dan Adolph Unruh mengedepankan empat aliran filsafat yang mempengaruhi penyusunan dan penetapan kurikulum, yaitu perenialisme, essensialisme, progresifisme, dan rekonstruksionisme. Perenialisme memiliki cirri rasionalistik dan akademis, esensialisme lebih memiliki ciri pengembangan proses kognitif, progresifisme menekankan pada pengembangan teknologi, sedangkan rekonstruksionisme menekankan rekonstruksi sosial dan aktualisasi diri (Unruh, 1984:99).
       Konsep tersebut juga diangkat oleh Bloom dengan taksonominya yang masih populer sampai sekarang. Bloom mengangkat teori kognitifnya dalam gardasi knowledge, comprehension, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi. Tampaknya sangat beragam aliran filsafat yang diadopsi dalam pengembangan kurikulum pendidikan, namun pada hakikatnya landasan teoritis filosofis yang ditawarkan sama yaitu, kemampuan berpikir kognitif, intelektualistik dan akademik agar mampu melahirkan pemikiran-pemikiran bijak bagi masyarakat zamannya.
       Kurikulum memang merupakan jantungnya pendidikan, dengan kurikulumlah sekolah dapat menggambarkan dan merumuskan kualifikasi dan kompetensi outcome dari program pendidikannya, dan dengan kurikulum pulalah, sekolah merancang upaya-upaya untuk mencapai kompetensi tersebut (Wiles, 1989:13). Kurikulum merupakan salah satu yang dijual sekolah kepada pelanggannya, semakin baik kurikulum yang dirancang sekolah, maka akan semakin tinggi daya tarik sekolah tersebut bagi masyarakat.
  
B.   Kurikulum Berbasis Kompetensi
       Secara teoretis, pengorganisasian kurikulum bisa dilakukan dalam salah satu dari berbagai pilihan yang telah pernah dikembangkan dalam dunia pendidikan, yaitu subject centered curriculum,broad field dan core curriculum. Subject centered curriculum merupakan bentuk tertua yang pernah dipakai dalam pendidikan. Kurikulum model ini sangat simpel, karena berbasis bidang buku teks, para pembelajar memiliki peluang untuk bisa mempelajari buku teksnya sampai tuntas, namun terkadang menjadi kurang efesien, karena pembelajar bisa terjebak mempelajari bagian-bagian yang tidak relevan dengan kebutuhannya. Atas dasar itulah kemudian dikembangkan broad field curriculum, atau kurikulum dengan system bidang studi. Kurikulum dengan model bidang studi sangat efisien dalam konteks kajian antarbidang ilmu, karena sudah menyatu dalam organisasi kurikulumnya. Model ini, menurut Hansaon dikembangkan untuk mengurangi beban dan kecenderungan siswa untuk mempelajari dan menghafal bahan-bahan yang parsial, yang justru tidak efisien dalam konteks penggunaan dan pemanfaatan ilmu dalam kehidupan nyata.
       Kendati model bidang studi ini sangat efisien dalam konteks pengembangan pemahaman siswa, tetapi upaya-upaya inovasi kurikulum terus melakukankritik terhadap temuan-temuan tersebut sehingga ditemukan satu model baru yang dinamai dengan core curriculum. Model ini sebagaimana Keneth T Hanson katakana adalah sebuah model mengorganisasi kurikulum yang benar-benar diperlukan oleh siswa. Model core curriculum adalah generasi kedua dari model integrated curriculum, di mana bahan kajian disusun berdasarkan analisis kebutuhan lapangan, dan disajikan dalam system blok, dan harus ditangani oleh sebuah tim yang juga terinterasi.
       Di Indonesia, pada tahun 2004 Depdiknas mengeluarkan kebijakan dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), yang secara epistimologis, nyaris memiliki kesamaan dengan core curriculum, atau KBK justru terinspirasi oleh model tersebut. Sekarang, pemerintah telah menetapkan angka minimal lulus dalm ujian nasional, yang secara berangsur ditingkatkan batas minimum kelulusannya setiap tahun, sampai mencapai batas minimal ketuntasan belajar secara nasional. Kebijakan inilah yang akan menjadi salah satu faktor yang secara berangsur akan meningkatkan daya saing SDM Indonesia dalam pasar kerja regional dan global, yang secara kualitatif saat ini memang masih diragukan kemampuan kompetetifnya, baik karena kemampuan ilmu dan keterampilannya, maupun basis pengetahuan kultur dan kemampuan komunikasi globalnya. Indonesia kini sedang terus melakukan perbaikan komprehensif dalam sektor pendidikan, baik menyangkut aspek peningkatan angka partisipasi sekolah tingkat dasar dan menengah, efisiensi penyelenggaraan, maupun penetapan indeks angka kelulusan ujian akhir nasional, yang setiap tahun terus ditingkatkan standar minimalnya untuk mendorong angka kelulusan sekolah ideal.
       Untuk kepentingan itulah, pemerintah menggulirkan berbagai paket kebijakan pendidikan yang secara keseluruhan merupakan rangkaian utuh, simbiotis dan memiliki keterkaitan sistematis antara satu dengan lainnya. Salah satu kebijakan tersebut adalah KBK yang dikeluarkan pada tahun 2004, dan dan merupakan substitusi terhadap kurikulum berbasis tujuan produk kebijakan tahun 1994. Akan tetapi, gagasan ideal yang sangat ekstrem terhadap pembinaan kompetensi dan relevansi terhadap kebutuhan pemakai para lulusan, telah menimbulkan kesulitan untuk diinstrumentasi pada tingkat praktis, sehingga dua tahun kemudian dikembangkan penyempurnaan maksimal terhadap KBK dengan lahirnya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).

a)   Apa Itu Kurikulum Berbasis Kompetensi
       Doll mendefinisikan bahwa kurikulum itu adalah seluruh pengalaman yang ditawarkan pada peserta didik di bawah arahan dan bimbingan sekolah. Iskandar berpendapat bahwa kurikulum berbasis kompetensi tiada lain adalah pengembangan kurikulum yang bertitik tolak dari kompetensi yang seharusnya dimiliki siswa setelah menyelesaikan pendidikan, yang meliputi pengetahuan, keterampilan, nilai dan pola berpikir serta bertindak sebagai refleksi dari pemahaman dan penghayatan dari apa yang telah dipelajari siswa. Rumusan kompetensi sebagaimana dikemukakan dalam Permen 23 tahun 2005, tentang standar kompetensi lulusan, bahwa kompetensi adalah kemampuan bersikap, berpikir, dan bertindak secara konsisten sebagai perwujudan dari pengetahuan sikap, dan keterampilan yang dimiliki peserta didik.
       Fokus perhatian KBK adalah pada kurikulum dalam aspek penyusunan rangkaian course outline yang akan diajarkan pada siswa dengan merumuskan secara detail kompetensi-kompetensi yang akan diberikan sesuai kebutuhan yang diminta oleh client, user, stake holder serta arah dan kebijakan pembinaan dan pengembangan SDM yang dibutuhkan oleh bangsa dan Negara, yang memiliki cita-cita peningkatan produktivitas dan daya saing baik secara regional maupun global. Bertitik tolak pandangan tersebut, maka pembahasan KBK terbatas pada pertimbangan penyususnan struktur kurikulum serta silabus dari setiap subjek mata pelajaran, termasuk berbagai kegiatan pembelajaran yang merupakan implikasi dari penekanan KBK tersebut.
Perumusan kompetensi dalam kurikulum juga harus memenuhi beberapa aspek penting (Mapeda, 2003:7), yaitu:
a.   Kompetensi tersebut harus dapat didefinisikan secara jelas dalam standar yang dapat dicapai serta performance yang terukur.
b.   Kompetensi itu harus memiliki konteks.
c.   Kompetensi merupakan learning outcome yang mendeskripsikan apa yang dapat dibuat seseorang setelah melalui proses pembelajaran.
d.   Terkait dengan itu, maka kompetensi juga harus mendeskripsikan proses pembelajaran yang harus dilalui siswa untuk mencapai kompetensi harapan.

b)  Mengapa Kurikulum Berbasis Kompetensi
Kurikulum berbasis tujuan juga mengkonsepsionalisasikan berbagai prosedur yang hendak dikorbankan dalam KBK, hanya saja kurikulum 94 disusun dalam suasana kebijakan politik pendidikan yang masih sentralistis dan kurang melibatkan masyarakat akar rumput. Sementara dalam KBK, masyarakat menjadi mitra dan bersama-sama dengan pemerintah sebagai stake holder dalam pendidikan (sekolah). Terkait dengan itu, pemerintah khususnya pemerintah daerah harus bisa merancang program pembinaan SDM guru secara terencana sesuai kebutuhan nyata di lapangan.

c)   Kerangka Dasar Kurikulum Berbasis Kompetensi
Dalam kerangka KBK, otoritas penyusunan kurikulum diberikan seluas-luasnya pada sekolah melalui para gurunya, dengan mengacu pada standar kompetensi yang telah disusun oleh pemerintah melalui departemen pendidikan nasional. Otoritas standarisasi kurikuler diberikan pada pemerintah tersebut dengan pertimbangan masih perlunya rekayasa perubahan dan kemajuan dari pemerintah melalui pembinaan sumber daya manusianya lewat jalur pendidikan. KBK dimulai dengan penyusunan sekwensi silabus oleh guru dan diawali perumusan berbagai kompetensi harapan yang harus dicapai dari proses pembelajaran siswa. Atas dasar kompetensi-kompetensi itulah disusun berbagai topik bahasan, strategi pembelajaran serta berbagai penugasan yang akan diberikan pada siswa, dan jugaprosedur evaluasi dan penilaian prestasi hasil belajarnya, dengan paradigm menggeser penekanan terhadap isi ke kompetensi, yakni bagaimana siswa harus berpikir, belajar, bersikap dan melakukan.
Penilaian berbasis kelas adalah penilaian yang dilakukan guru terhadap kemajuan siswa dalam mencapai kompetensi yang diharapkan dan telah ditetapkan dalam kurikulum. Penilaian dilakukan secara individual dengan signifikasi sebagai berikut:
a.   Untuk mendiagnosis kekuatan dan kelemahan dari masing-masing siswa.
b.   Untuk memonitor kemajuan siswa
c.   Untuk memberikan kualisifikasi dan nilai kemajuan prestasi siswa.
d.   Menilai efektivitas proses pembelajaran.
Kegiatan pembelajaran harus berpusat pada siswa, berlangsung dalam suasana mendidik, menyenangkan dan menantang dengan berbasis pada prinsip pedagogis dan andragogis. Dengan pendekatan tersebut siswa diharapkan secara aktif dapat berkembang menjadi pribadi yang berwatak, matang dan utuh serta memiliki kompetensi yang selaras dengan perkembangan kejiwaannya (Siskandar, 2003). Kurikulum berbasis kompetensi dikembangkan untuk peningkatan pencapaian konsep dan gagasan belajar tuntas, yakni belajar sampai semua pembelajar itu memahami secara keseluruhan bahan-bahan yang mereka pilih untuk dipelajari. Kemudian, kurikulum berbasis kompetensi memiliki hubungan yang kuat dengan perubahan pola penugasan guru dalam pelaksanaan tugas dari mengajar untuk mengejar target pencapaian kurikulum pada pencapaian target penguasaan.

d)  Kurikulum Berbasis Kompetensi dan Belajar Tuntas
       Belajar tuntas adalah sebuah pola pembelajaran yang mengharuskan pencapaian penguasaan siswa secara tuntas, terhadap setiap unit pembahasan dengan pemberian tes formatif pada setiap pembelajaran baik sebelum maupun sesudahnya untuk mengukur tingkat penguasaan siswa terhadap bahan ajar yang telah mereka pelajari, serta penguasaan minimal 80% dari isi kurikulum (Ellis, 1993:108). Belajar tuntas ada dua model, yaitu model individual dan model kelompok. Model individual memperbolehkan siswa untuk melakukan proses pembelajaran dalam rate-nya, tanpa terganggu oleh orang lain, dan mengikuti tes untuk setiap unit bahasan yang telah dipelajari, dan terus maju sesuai kemampuannya  dengan bantuan dan arahan guru, atau mengulang proses pembelajaran pada unit yang sama sampai mencapai penguasaan minimal 80%. Sedangkan belajar tuntas model kelompok adalah proses pembelajaran yang dilakukan berkelompok oleh siswa yang berada dalam taraf kemampuan yang sama, dan mereka tetap memiliki peluang untuk terus melakukan mutasi kelompok secara dinamis, sampai mencapai skor penguasaan bahan ajar minimal 80%, atau batas minimal yang telah ditetapkan sebagai angka kesepakatan.
Adapun prinsip-prinsip belajar model kelompok, yaitu:
a.   Semua siswa memiliki kemampuan sama dalam belajar.
b.   Bahan pelajaran yang dipelajari dapat di-breakdown pada sub-sub pokok bahasan, atau unit-unit materi pelajaran yang tersusun dan sistematis.
c.   Proses pembelajarannya harus sekwensial, yakni berurutan sesuai urutan silabus.
Adapun komponen-komponen belajar tuntas model kelompok, yaitu:
a.   Perencanaan,
b.   Proses pembelajaran
c.   Evaluasi formatif
d.   Pengajaran kembali
e.   Evaluasi akhir.
Pelaksanaan kurikulum berbasis kompetensi harus seiring dengan penetapan standar kelulusan dari sekolah, yang mengacu pada kualifikasi belajar tuntas, yakni penguasaan minimal bahan ajar 80% atau sesuai dengan kebijakan yang telah diputuskan oleh otoritas sekolah.

e)  Berbagai Pendekatan dalam Penyusunan KBK
Ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam konteks pengenbangan kurikulum (Dimyati, 1998:278) yaitu:
1.   Relevansi
2.   Kontinuitas
3.   Fleksibel
       Sementara itu, untuk pengembangan kurikulum ini, dalam prinsip KBK dikemukakan dalam buku kebijakan pengembangan kurikulum madrasah, bahwa pengembangan kurikulum itu harus dilakukan secara komprehensif dengan memperhatikan berbagai pendekatan sebagai berikut (Mapenda, 2003).
1.   Sistematis dan sistematik
2.   Kemitraan
3.   Pengembangan
4.   Relevansi
5.   validasi
       Kemudian dalam KBK juga ditekankan kandungan unsur dinamika, yakni bahwa kurikulum itu harus dinamis mengikuti berbagai perubahan dan kemajuan peradaban umat manusia, serta mampu membawa berbagai perubahan dalam kehidupan masyarakat, karena perubahan itu setiap saat akan terjadi. Melalui kurikulum sekolah, peerubahan itu didesain agar tetap dalam arah yang benar sesuai harapan masyarakat dengan basis kepercayaan dan kulturnya, direncanakan secara sistematis, dialektis, bertahap, dan harus tetap progresif untuk membawa kebaikan di masa yang akan dating.

f)   Kurikulum Berbasis Kompetensi dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
       KBK adalah model dari sebuah kurikulum yang diperkenalkan di Indonesia sebagai model kurikulum 2004, dan menekankan pada perumusan yang jelas, ajek dan terukur tentang kompetensi yang harus dicapai oleh siswa setelah menyelesaikan proses pembelajarannnya pada jenis, jalur, dan jenjang pendidikan tertentu, serta memiliki kompetensi yang relevan dengan kebutuhan pasar kerja. Dalam Peraturan Pemerintah No.19 Tahun 2005 ditegaskan tentang Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) sebagai kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan.
       Kurikulum sekolah yang kemudian lazim disebut sebagai KTSP dikembangkan oleh setiap sekolah, tapi pemerintah telah menyampaikan permintaannya, sehingga sekolah tinggal menambah, atau memperkuat kompetensi yang telah ada, dengan prosedur serta struktur yang sama yang telah disusun oleh Depdiknas. Pengembangan kurikulum di tingkat satuan pendidikan, kini telah memperoleh panduan yang jelas dari Badan Standar Nasional Pendidikan (BNSP) yang diterbitkan tahun 2006, yang kemudian mempopulerkan KTSP, dan bahkan diasumsikan oleh para guru sebagai pengganti KBK. Padahal, KTSP tiada lain adalah kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan. KTSP terdiri dari tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan, struktur dan muatan kurikulum tingkat satuan pendidikan, kelender pendidikan, dan silabus (BNSP, 2006:5).
       Untuk pengembangan KTSP oleh masing-masing satuan pendidikan, BNSP telah menetapkan beberapa prinsip yang harus diperhatikan (BNSP, 2006:5) yakni:
a.   Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya.
b.   Beragam dan terpadu.
c.   Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.
d.   Relevan dengan kebutuhan kehidupan.
e.   Menyeluruh dan berkesinambungan
f.    Belajar sepanjang hayat.
g.   Seimbangan antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah.
       Kemudian dari itu, pengembangan KTSP harus dilakukan dalam dua tahap, yakni kurikulum sekolah/madrasah yang disusun bersama antara kepala sekolah/madrasah dan guru, serta kurikulum operasional untuk setiap mata pelajaran yang harus disusun oleh setiap guru. Untuk penyusunan kurikulum pada satuan pendidikan harus memperhatikan beberapa acuan sebagai berikut.
a.   Peningkatan iman dan takwa serta akhlak mulia.
b.   Peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat sesuai dengan tingkat perkembangan dan kemampuan peserta didik.
c.   Keragaman potensi dan karakteristik daerah dan lingkungan.
d.   Tuntutan pembangunan daerah dan nasional.
e.   Tuntutan dunia kerja.
f.    Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.
g.   Agama.
h.   Dinamika perkembangan global.
i.    Persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan.
j.    Kondisi sosial budaya masyarakat setempat.
k.   Kesetaraan jender
l.    Karakteristik satuan pendidikan.
Unsur-unsur kurikulum sebagaimana dijelaskan dalam petunjuk penyusunan KTSP adalah:
1.   Tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan
2.   Struktur dan muatan kurikulum tingkat satuan pendidikan.
3.   Kelender pendidikan
4.   Silabus.
Adapun dokumen kurikulum terdiri dari:
1.   Visi, misi dan tujuan sekolah/madrasah.
2.   Struktur dan muatan kurikulum
3.   Ketuntasan belajar
4.   Standar kenaikan dan kelulusan
5.   Kelender akademik.
       Silabus sebagaimana ditegaskan dalam panduan penyusunan KTSP (BNSP, 2006:10), adalah rencana pembelajaran pada suatu atau kelompok mata pelajaran/tema tertentu yang mencakup standar kompetensi, kompetensi dasar, materi pokok/pembelajaran, kegiatan pembelajaran, indikator, penilaian, alokasi waktu, dan sumber/bahan/alat belajar. Adapun unsur-unsur yang masuk dalam silabus adalah sebagai berikut.
1.   Rumusan standar kompetensi.
2.   Rumusan kompetensi dasar.
3.   Materi pokok
4.   Kegiatan pembelajaran.
5.   Indikator penilaian
6.   Alokasi waktu
7.   Sumber, bahan dan alat pembelajaran.
Bloom, sebagaimana dikemukakan oleh Wiles dan Bondi (Wiles, 1989:96) membagi tujuan pembelajaran menjadi tiga yaitu, kognitif, afektif, dan psikomotorik, yang masing-masing memiliki 6,5,dan 4 level kompetensi.
1)   Kompetensi kognitif, adapun yang termasuk ke dalam kompetensi kognitif meliputi knowledge, comprehension, application, analysis,dan evaluation.
2)   Kompetensi afektif, adapun yang termasuk ke dalam kompetensi afektif meliputi, receiving, responding, valving, organization,dan characterization. Dalam konteks aspek afektif tersebut tidak cukup hanya dengan proses pembelajaran yang lebih melibatkan mereka dalam pembahasannya, tapi juga contoh-contoh nyata sehingga mereka dapat memperhatikan respons yang terukur.
3)   Kompetensi psikomotorik, adapun yang termasuk ke dalam kompetensi psikotorik meliputi, observing, imitating, practicing, dan adapting.

g)   Siapa yang Harus Terlibat dalam Penyusunan Kurikulum
       Pandangan progresif yang mengemukakan di kalangan aliran-aliran progresif seperti yang dikemukan Wiles dan Bondi amat relevan untuk diangkat sebagai salah satu opsi pemikiran dalam memberlakukan UU No.22 tahun 1999. Dalam teorinya itu Bondi menyebutkan, bahwa pengembangan kurikulum adalah pekerjaan dan usaha bersama-sama.  Pengembangan kurikulum harus melibatkan banyak kelompok, agensi dan individu, baik dalam sekolah maupun di luar sekolah. Guru yang akan melaksanakan kurikulum akan lebih besar menentukan sukses dan tidaknya perubahan kurikulum. Demikian pula dengan siswa, dia harus menjadi bagian dari proses pengembangan kurikulum. Orang tua dan kelompok anggota masyarakat (komite sekolah) yang harus mendukung perubahan dan pengembangan kurikulum tersebut sejak dari awal. Demikian pula dengan para pengawas, pelaksana administrasi kurikulum, juga harus terlibat (Wiles, 1989:119). Semakin banyak orang yang terlibat dalam pengembangan kurikulum tersebut, maka akan semakin tinggi tingkat keberhasilan pendidikan, baik dilihat dari sudut psikologis, kebutuhan client maupun relevansinya dengan kebutuhan pemakai hasil pendidikan.
       Dengan demikian posisi masing-masing otoritas, sesuai dengan arah pengembangan otonomiasi pendidikan adalah, kurikulum operasional serta rangkaian silabusnya merupakan otoritas guru yang disusun dengan mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan psikologis siswa, kemudian dikonsultasikan dengan stake holder dan user  pendidikan, lalu didiskusikan dengan tim kurikulum sekolah untuk diimplementasikan. Namun kurikulum operasional dan silabus tersebut disusun dengan mempertimbangkan standar komopetensi yang disusun oleh pemerintah. Sementara kewenangan pemerintah daerah adalah fasilitasi.
       Lapisan yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan menyusun kurikulum secara hierarkis adalah pemerintah pusat sebagai wujud dari cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa. Sementara pemerintah daerah hanya memiliki tugas memfasilitasi berbagai kepentingan sekolah, mulai dari prasarana fisiknya, sarana pembelajaran, perpustakaan, laboratorium dan pembinaan SDM, baik guru, kepala sekolah, maupun para pengelola yayasan, sehingga mampu mengembangkan lembaga pendidikan yang dikelolanya menjadi yang terbaik, dapat melahirkan generasi bangsa yang cerdas, terampil, dan memiliki kemampuan daya saing yang unggul di ear globalisasi. 

C.   Pengembangan Kurikulum
       Pengembangan kurikulum sebagaimana Unruh katakana adalah proses yang kompleks terdiri dari berbagai kegiatan meng-asses kebutuhan, mengidentifikasi harapan hasil belajar, mempersiapkan proses pembelajaran untuk mencapai harapan outcome hasil belajar, dan menyesuaikan program pembelajaran dengan budaya, sosial, dan berbagai kebutuhan orang-orang yang untuk merekalah kurikulum tersebut disiapkan (Unruh, 1984:97). Pengembangan kurikulum tersebut menjadi sangat signifikan dilihat dari sangat cepatnya perubahan sains dan teknologi yang digunakan dalam dunia usaha dan industri serta berbagai pasar tenaga kerja potensial lainnya, sehingga sekolah tidak tidak tertinggal oleh berbagai kemajuan yang terjadi di luar sekolah.
       Selanjutnya, Unruh (1984:178-179) mengemukakan aspek-aspek yang harus dianalisis dalam konteks pengembangan kurikulum tersebut antara lain adalah:
1.   Kebijakan, yakni kebijakan pokok tentang kurikulum itu sendiri yang meliputi tujuan (kini dalam term kurikulum Indonesia menjadi kompetensi-kompetensi), struktur kurikulumnya sendiri akan diubah atau tidak, dan kemudian prosedurnya.
2.   Standar kelulusan yang diharapkan serta pencapaiannya hari itu, keduanya harus dianalisis untuk mencari kesenjangan antara keduanya, dan kurikulum disusun untuk menutup dan mempersempit gap tersebut.
3.   Meng-assess berbagai opsi rumusan tujuan (kompetensi) dengan orang-orang terkait dengan kepentingan kurikulum tersebut untuk menetapkan prioritas yang akan dijadikan rumusan akhir untuk kurikulum hasil perbaikan dan pengembangan.
       Rumusan-rumusan kompetensi yang komprehensif, bijak, jelas, dan terukur, akan dapat menginspirasi penyusunan bahan ajar yang sekwentif dan terorganisasi dengan baik untuk menjamin pemberian pengalaman-pengalaman bagi siswa dalam mencapai kompetensi idealnya.perumusan bahan ajar, dan pengorganisasian bahan ajar secara holistis integrative, serta penyusunan berbagai strategi agar pengalaman-pengalaman tersebut dapat tercapai untuk menjangkau kompetensi ideal. Itulah inti kurikulum sekolah yang harus senantiasa dievaluasi dan dikembangkan secara regular dan periodik.
       Lebih lanjut, ada beberapa langkah penting yang harus dilakukan dalam rangka pelaksanaan evaluasi dan pembaruan kurikulum (Doll, 1964:322), yaitu:
1.   Tetapkan beberapa program yang akan dievaluasi.
2.   Rumuskan tujuan dari evaluasi dan pembaruan kurikulum dengan menyesuaikan pada program-program yamg akan dievaluasi tersebut.
3.   Pertegas tujuan (kompetensi) dengan merumuskan berbagai indikator kompetensi yang akan diperoleh saat tujuan tersebut tercapai.
4.   Rumuskan pula criteria pencapaian dan kemajuan kegiatan evaluasi sebagai standar kerja agar tidak menyimpang dari tujuan dan signifikansi evaluasi dan pembaruan kurikulum.
5.   Sebaiknya disiapkan proses pengerjaan perumusan tujuan dan kriteria-kriteria ketercapaiannya, serta siapkan pula instrument untuk kepentingan keduanya.
6.   Pilih dan terapkan proses serta instrument yang dapat menghasilkan data lengkap sesuai kebutuhan serta dapat menggali berbagai informasi secara mendalam.
7.   Generalisasikan berbagai data dan temuan dan temuan agar bisa menghasilkan berbagai poin penting untuk perbaikan kurikulum berikutnya, sebagai upaya penting untuk mencapai tujuan.   

BAB III  MENGAJAR YANG MEMBELAJARKAN
A.  Mengajar dan Belajar
       Menyangkut pengertian mengajar, dalam buku ini dibandingkan duah buah konsep yang berbeda.
       Pertama, konsep lama; mengajar adalah sebuah kegiatan yang diprakasai oleh seorang guru yang bertujuan untuk memberikan berbagai pengetahuan, pengalan kepada siswa. Guru sepeunuhnya berperan dalam proses tersebut, sementara siswa hanya mendengar, mencatat dan bertanya. Guru dianggap sebagai orang yang maha tahu tentang berbagai hal dan siswa yang menerima apa yang disampaikan guru. Pandangan mengajar tersebut adalah adopsi dari aliran behaviorisme.
       Kedua, konsep baru;  mengajar adalah suatu tindakan dari seseorang yang mencoba untuk membantu orang lain untuk mencapai tujuan dalam berbagai aspek seoptimal mungkin sesuai dengan potensinya.pandangan ini didasari pada sebuah paradigma bahwa tingkat keberhasilan mengajar bukan pada berapa banyak ilmu yang disampaikan guru pada siswa, tetapi seberapa besar guru memberi peluang pada siswa untuk belajar dan memperolah segala sesuatu yang ingin diketahuinya, guru hanya memfasilitasi siswanya untuk meningkatkan keterampilan dan pengtahuannya. Pandangan tersebut dikemukakan oleh Moore.
       Psikologi Kognitif mengmbangkan bahwa belajar adalah mengembangkan berbagai strategi untuk mencatat dan memperoleh bergabai informasi tersebut, dan guru bukan mengontrol stimulus tetpi menjadi patner siswa dan prose penemuan berbagai informasi dan makna-makna informasi yang diperolehnya dalam pelajaran yang mereka bahas adan kajii bersama. Aliran Constructivisme menenkannkan bahwa siswa yang sangat berperan dalam menemukan ilmu baru. Empat aspek pandangan tentang belajar yang ditekannkan oleh aliran Constructivisme: (1) Siswa membangun pemahamannya sendiri dari hasil mereka belajar, bukan karena disampaikan pada mereka. (2) Pelajaran baru sangat tergantung pada pelajaran sebelumnya (3) Belajar dapat ditingkatkan dengan interaksi sosial (4) Penguasaan-penguasaan dalam belajar dapat meningkatkan kebermaknaan proses pembelajaran (Kauchak, 1998: 6-7).
       Di tangah derasnya kritikan terhadap aliran behaviorisme, Kevin Wheldall dan Ted Glynn memengmbangkan sebuah paradigma baru behaviorisme, yaitu, beavioural interactionist appoacch to teaching yang menyintesiskan antara behaviorisme dan Constructivisme. Sintesis teori tersebut berbasis pada teori psikologi developmental atau aliran behaviorisme intaraktif berikut pandangannya:
(1) Penggunaan metode-metode yang sesuai dengan kebutuhan analisis perilaku,                 prosedur sistematis, dan strategis logis.
(2) Adaptasi (mengenali lingkungan).
(3) Berusaha memaksimalkan berbagai penggunaan berbagai penguat natural/alamiah. (4)  Responsif terhadap berbagai data dari hasil peneliatan aliran non-behaviorisme.
 (5) Penekanan pada belajar interaktif.
 (6) Membantu siswa untuk telaksananya belajar mandiri.
 (7) Memperluas program-program pendidikan secara lebih luas, tidak hanya tepakau           pada program sekolah.
(8) Mendorong inisiatif yang dikembangkan siswa.
(9) Menghargai setiuap kesempatan belajar yang muncul dari berbagai kesalahan.
(10) Mengakui kompleksitas skill guru profesional yang dibutuhkan oleh setiap guru.
       Dalam hal pembelajaran, Hunt dan Moore mendorong konsep reflective teaching yang pionernya adalah Donald Cruickschannk, yang mengangkat teori bahwa guru diharuskan untuk merancang strategi sebelum dan dalam proses pembelajaran. Rancangan strategi harus didasai oleh pengalam-pengalaman, sedangkan rangcangan proses didasari dari kondisi aktual. Selain itu, guru dan siswa juga dituntut untuk membuat refleksi tentang hasil dari proses pembelajaran. Sebab, hal itu sangat berguna untuk meningkatkan kualitas pembelajaran.
       Terkait kesuksesan dalam belajar, Kaochhar mengemukakan bahwa ada dua syarat yang harus dilakukan agar dapat  sukses dalam belajar: (1) Menanamkan bahwa belajar itu adalah suatu kebutuhan dan merasa perlu. (2) Adanya kesiapan untuk belajar atau direncanakan.  Sementara itu, William H. Burton mengemukakan bahwa proses belajar adalah sebagai berikut: (1) Pengembangan Pengalaman, bertindak, dan menjalankan sesuatu (2) Proses belajar terjadi dari berbagai macam pengalaman bahakan unit-unit pelajaran yang menyatu dalam satu tujuan (3) Adanya respons individual yang terus termodivikasi oleh konsekuensi-konsekuensinya. (4) Situasi belajar berterima dengan keinginan siswa. (5) Proses belajar dimotivasikan oleh kebutuhan dan tujuan, serta untuk menutupi kekurangan diri. (6) Situasi belajar, dalam konteks keseluruhan nilai, harus dirasakan oleh pembelajar sebagai realistis yang bermakna dan berguna. (7) Proses belajar akan berjalan efektif jika pengalaman, bahan-bahan, dan hasil-hasil yang diharapkan sesuai dengan tingkat kemantangan pembelajar serta latar belakang pemehaman mereka. (8) Proses belajar akan berjalan baik, bila pembelajar melihat hasil positif pada dirinya. (9) Proses dan pencapaian hasil belajar akan sangat dipengharuhi oleh tingkatan aspirasi yang ditanamkan oleh pembelajar (10) Pembejar siap melewati berbagai tantangan bila ia telah sadar bahawa proses tersebut burguna baginya. (11) Prose belajar dan pencapaian sanga dipengaruhi oleh perbedaan pembelajar. (12) sejarah pembelajar dapat menjadi penghambat atau justru penguat kemmpaun untuk belajar terhadap berbagai kemampuan yang disarankan guru. (13) Toleransi terhadap kesalahan adalah sebuah pengalaman berharga dalam pembelajaran. (14) proses belajar sebaiknya berlangsung di bawah bimbingan yang menstimulasi bukan didominasi dan dengan paksaan, dan dengan dorongan bukan celaan. (15) proses belajar merupakan sebuah kesatuan fungsional dari semua prosedur yang mungkin terpisahkan dari pembahasan (16) Prose belajar akan berjalan dengan baik jika lahir dalam lingkungan yang kaya dan variatif.
       Keberhasilan karier tidak cukup hanya dengan kecerdasan seseorang dalam bidang sains dan teknologi. Tanpa diperkuan dengan kecerdasan-kecerdasan lainnya untuk memperkuat kemitraan dengan orang lain, mengembangkan kepercayaan diri serta berbagai komunikasi verbal dan nonverbal yang diperlukan oleh keilmuannya. Menyingkapai hal itu, Danold P. Kauchak mengangkat sebua teori multi intelligence  yang ia kuti dari penelitian Howard Gardner. Yakni, kecerdasan seseorang tidak dapat diukur dari intelligence question yang hanya mengukur tiga variabel, yaitu berpikir abstrak dan rasional, kemampuan penyelesaian masalah, dan kemampuan pengausaan pengetahuan. Danold P. Kauchak mengangkat 7 variabel untuk mengukur kecerdasan seseorang:
(1) linguistics intelligence
(2) logical-mathematical intelligence
(3) musical intelligence
(4) spatial intelligence
(5) bodily-kinesthetic intelligence
(6) interpersonal intelligence 
(7) intrapersonal intelligence.
       Problem Solving merupakan sebuah sebuah model pembelajaran dengan mengidentifikasikan sebanyak mungkin masalah yang terkait fokus yang akan mereka pelajari dengan cara inquiry atau kajian dan penelaahan mendalam.  Tahapan dalam model pembelajaran problem solving adalah; identifikasi masalah    merumuskan masalah       pemilihan strategi        pelaksanaan strategi        evaluasi strategi.
       Dalam model pembelajaran problem solving siswa diharapkan dapat mengubah cara berpikirnya. Guru harus membiasakan siswa untuk mengubah pola pikirnya, yakni:
1.   Dari menduga menjadi mengetimasi
2.   Dari memilih menjadi mengevaluasi
3.   Dari mengelompokkan menjadi mengidentifikasi
4.   Dari percaya menjadi menduga
5.   Dari penyimpulan dugaan menjadi penyimpulan secara logis
6.   Dari selalu menerima konsep pada menanyakan konsep
7.   Dari menduga menjadi menghipotesis
8.   Dari menawarkan pendapat tanpa alsan menjadi penawaran alasan dengan argumentasi
9.   Dari membuat keputusan tanpa kriteria pada membuat keputusan dengan kriteria
                      
       Secara umum ada empat tahap dalam peningkatan kebiasaan berpikir kreatif yang bisa dikembangkan pada berbagai aktivitas belajar siswa (Moore, 2001:115), yakni:
1.   Persiapan, yakni proses pengumpulan berbagai informasi untuk diuji (sebagai sebuah opsi dalma penyelesaian masalah, jika kreativitas ini dikembangkan untuk menyelesaikan masalah).
2.   Inkubasi, yakni suatu rentang waktu untuk merenungkan hipotesis tersebut sampai dia memperoleh keyakinan bahwa hipotesis itu sangat rasional. Masa inkubasi ini dapat dipersingkat.
3.   Iluminasi, yakni fase kecerahan saat pemikir memperoleh benear bahwa hipotesisnya itu yang paling kuat dan paling benar.
4.   Verifikasi,yakni pengujia kembali hipotesisnya untuk dijadikan sebuah rekomendasi perbaikan atau perubahan berdasarkan hasil temuan terbaru. Verifikasi ini memerlukan data yang dapat menguji rumusan hipotesisnya itu.
      
B.   Bagaimana Menjadi Guru yang Baik
       Konsep belajar dan mengajar yang ideal harus diimbangi dengan perubahan-perubahan wordview guru yang sesuai dengan kecenderungan perubahan-perubahan tersebut,karena implementasi belajar untuk mengubah perilaku dari tidak tahu menajdi tahu, dari tidak mengerti menjadi mengerti, dan dari tidak biasa menjadi biasa, memberi ruang pada guru untuk dominan, memaksa dan tidak memberi dorongan tetapi malh cemoohan, sebagai implementasi teori reward dan pusnisment. Kebijakan pola pengajaran seperti inilah yang tidak menimbulkan sikap tidak peduli pada siswa.
       Secara umum ruru itu harus memenuhi dua kategori yaitu memiliki capability dan loyalitas. Gilbert H. Hunt dalam bukunya Effective Teaching menyatakan bahwa guru yang baik itu harus memenuhi tujuh kriteria:
1.   Sifat; antusias, stimulatif, motivator, hangat, berorientasi pada tugasnya, toleransi, sopan, bijaksana, bisa dipercaya, fleksibel dan mudah menyesuaikan diri, demokratis, penuh harapan bagi siswa, tidak semata mencari reputasi pribadi.
2.   Pengetahuan;   memiliki kemampuan yang memadai dalam mata pelajarannya dan mengikuti kemajuan dan perkembangan dalam bidang  ilmunya.
3.   Apa yang disampaikan; mampu memberikan jamaina bahwa materi yang  disampaikannya mencakup semua unit bahasan yang diharapkan siswa secara maksimal.
4.   Bagaimana Mengajar; mmpu menjelaskan berbagai informasi secara jelas, dan terang, memberikan layanan  yang variatif, menciptakan dan memelihara momentum, menggunakan kelompok kecil secara efektif, mendorong semua siswa untuk berpartisipasi, memonitor, mampu mengambil keuntungan dari kejadian-kejadian yang tidak diharapkan, menunjukan proses berpikir yang penting untuk belajar, berpartisipasi dan mampu memberikan perbaikan-perbaikan kesalahan konsepsi yang dilakukakn siswa.
5.   Harapan; mampu memberikan harapan dapa siswa, mampu membuat siswa accountable, dan mendorong partisipasi orang tua dalam memajukan kemampuan akademik siswanya.
6.   Reaksi guru terhadap siswanya; menerima berbagai masukan, risiko, dan tantangan, selalu memberi dukungan pada siswanya, konsisten dalam kesepakatan-kesepakatan dengan siswa, bijaksana terhadap kritikan siswa, pengjaran yang memperhatikan individu, jaminan atas kesetaraan partisipasi siswacepat memberikan feed back pada siswa dalam membantu mereka belajar, peduli dan snsitif terhadap latar belakang siswa, memiliki teknik untuk mengontrol kelas.
7.   Management; mampu membuat sebuah perencanaan dan mengatur berbagai aspek yang akan dilalui dalam proses pembelajaran.
       Sementara itu, Peter G. Beidler, dalam buku Inspiring Teaching terdapat 10 kriteria guru yang baik:
1.   Mempunyai keinginan untuk menjadi guru yag baik.
2.   Berani mengambil risiko, bersedia merencana sesuatu yang besar, lalu berjuang untuk menggapainya.
3.   Memiliki sikap positif.
4.   Tidak pernah ada waktu yang cukup untuk pendidikan.
5.   Yakin, bahwa mengajar adalah menjalankan tugas sebagai orang tua.
6.   Membuat siswa utuk lebih percaya diri.
7.   Membuat posisi tidak semibnag antara siswa dan dirinya. Hal ini untuk meyakinkan siswa bahwa proses kompetensisnya masih panjang.
8.   Memotivasikan siswa-siswanya.
9.   Tidak percaya penuh terhadap evaluasi yang diberikan siswanya, karena cenderung ridak objektif.
10. Senantiasa mendengar trhadap pertanyaan-pertanyaan siswanya.

C.   Bagaimana Meningkatkan Efektivitas Pembelejaran
1.   Guru Harus Menyusun Perencanaan Pembelajaran yang Baik
a.   Perencanaan unutuk Mengapresiasi Keragaman
Persoalan perbedaan kecerdasan siswa merupakan sebuah realitas yang harus diperhatikan oleh guru. Apalagi sekolah dengan prinsip education for all. Berkaiatn dengan tingkat kecerdasan dan kemamupan siswa, T. Blair dalam bukunya Emerging Pattern of Teaching menyimpulkan beberapa karakteristik sisw ayang berkemampuan tinggi.
-     Mampu menyelesaikan pekerjaan lebih cepat dari pada teman-temannya.
-     Memiliki latar belakang kemampuan yang jelas.
-     Mampu menangkap berbagai penglan baru dengan akumulasi yang relatif basar.
-     Memiliki sejarah sukses akademik.
-     Penuh percaya diri
-     Selalu hendak terlibat dalam tim baru untuk mengembangkan pengalaman.
-     Bekerja baik sesuai kemampuan.
-     Sering menjadi terbaik di kelas.
-     Senang menghadapi berbagai tantangan.
-     Sering berintaraksi dengan kelompoknya.
-     Menyampaikan pertanyaan yang kritis dan mendalam.
-     Menerima tanggung jawab.
-     Selalu cenderung  untuk menyelesaikan tugas secara tuntas.
-     Selalu memiliki konsep diri yang positif.
-     Sering beramah-tamah dengan sesama.
       Berkaiatan dengan variasi kecerdasan, Hunt merumuskan empat prinsip dalam menghadapi keragaman berbasis tingkat kemampuan siswa belajar, yaitu:
(1) Biarkan siswa berkemampuan tinggi untuk menyelesaikan tugas-tugasnya dalam waktu singkat, dan biarkan dia memperdalam pemahaman dalam topik yang sama.
(2) Hilangkan kemungkinan meningkatnya waktu terbuang dalam proses pembelajaran selama masa studi siswa.
(3) Biarkan guru menghabiskan waktunya lebih lama untuk memberikan bantuan penjelasan-penjelasan bagi mereka siswa yang rendah tingkat kemampuan belajarnya.
(4) Beri peluang kepada siswa yang berkemampuan tinggi untuk menyelesaikan target-tartget kurikulernya lebih cepat, sehingga ,ereka memiliki waktu lebih untuk megembangkan pengalaman dan kemampuan keilmuanya.
       Semenatara itu, Hunt juga mengemukakan beberapa karakteristik siswa-siswa yang berkemampuan rendah, (Hunt, 1999:28), yaitu:
       1) Membutuhkan waktu lama untuk mempeajari sebauah konsep 2) Memiliki kesiapan minimal dalam menerima pelajaran baru 3) hanya memiliki beberapa pengalaman lampau yang terkait dengan informasi-informasi baru dari proses belajar yang baru 4) Memiliki sejarah kegagalan 5) Mereka beiasa tidak yakin dengan dirinya 6) Mereka sering ragu-ragu untuk terlibat dalam situasi belajar yang baru 7) Cenderung tidak bekerja baik dalam kelompok 8) Sering kesulitan untuk dimitivasi 9) mereka sering sukses dalam pekerjaan-pekerjaan konkret, tetapi tidak dalam hal-hal abstrak 10) Mereka sering kali membutuhkan penjelasan visual dan aktif 11) Cenderung tidak bekerja independent dan harus selau memperoleh perhatian, bimbingan dan pengawasan 12) Memiliki ketergantungan yang kuat pada guru 13) Jarang menyampaikan pertanyaan mendalam 14) Mudah menyerah dalam menghadapi masalah 15) Kurang memiliki konsep diri.
       Secara lebih detail, Danold P. Kauchak merekomendasikan untuk menghadapi keragaman kemampuan siswa dalam belajar, seorang guru banyak pilihan, di antaranya:
1)   Ciptakan rancangan kelas yang multidemensi 2) Buat rancangan waktu belajar yang fleksibel 3)  Kelompokkan siswa berdasarkan basis kemampuannya 4) Persiapkan strategi pembelajaran untuk kelompok yang lamban dengan strategi-strategi yang tidak saja akan mengantarkan mereka memahami tugas-tugas, tetapi juga akan meningkatkan kemampuan belajar siswa 5) Gunakan tutorial sebaya dan belajar bersama untuk menambah kemampuan dan pengalaman mereka masing-masing, setidaknya dalam interaksi sosial.
       Berbagai strategi dapat dikembangkan untuk meningkatkan kualitas proses pembelajaran dalam rangka meningkatkan hasil, dengan pendekatan pendidikan yang sangta mempertimbangkan multikultural (Moore, 2001:46) yaitu:
1.   Siswa harus diberi kepercayaan
2.   Hargai latar belakang kultural mereka
3.   Tingkatkan partisipasi keluarga
4.   Bantu siswa-siswa dalam mengembangkan skill sosial
5.   Gunakan strategi pembelajaran interaktif
6.   Ajarkan mereka dengan adil dan penuh perhatian
7.   Pahami siswa-siswa anda
8.   Buang sikap anti toleransi
9.   Refleksikan kultur anda sendiri
10. Bacalah literatur-literatur multikultural
11. Sampaika pertanyaan –pertanyaan berkualitas tinggi untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa.
12. Sediakan peluang akses yang sama bagi semua siswa
13. Kurangi sikap prejuce (prasangka) dan pahami hak-hak mereka
14. Tentukan teks yang dibutuhkan
Tentu strategi-strategi tersebut tidak mutlak digunakan, namun setidaknya bisa menjadi bahan masukan untuk digunakan dalam pengembangan proses pembelajaran dengan siswa-siswa yang memiliki latar balakang berbeda baik dari segi etnik, agama, viewpoint dan yang lainnya, yang selalu tidak mudah bagi guru untuk mengatasinya.

b.   Merumuskan tujuan Atau Kompetensi
       Kenneth D. Moore memperkenalkan komposisi format pembelajaran adalah sebagai berikut:
-     Topik pembahasan
-     Tujuan pembelajaran
-     Materi pelajaran
-     Kegiatan pembelajaran
-     Alat-alat yang dibutuhkan
-     Evaluasi hasil belajar.
       Semantara itu, format Rencana Pelaksanaan Pembelajaran berbasis belajar aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan sebagaimana ditawarkan pemerintah adalah sebagai berikut:
1.   Mata pelajaran
2.   kelas/semester
3.   pertemuan ke
4.   alokasi waktu
5.   Standar Kompetensi
6.   Kompetensi Dasar
7.   Indikator Kompetensi
8.   Tujuan Pembelajaran
9.   Materi ajar
10. Metode Pembelajaran
11. langkah pembelajaran
12. Sumber Bahan
13. Penilaian
(nomor 1-3 merupakan identitas mata pelajaran)

c.   Menyusun Rencana Implementasi Pembalajaran dalam Kelas
       Seorang guru diharapkan dapat mempesiapkan sebauh perencaan yang matang sebelum melaksanakan pembelajaran. Sebab, penyusunan perencanaan yang baik sangat berdampak terhadap keberhasilan guru dalam implementasipembelajaran di kelas.
2.   Guru Harus Mampu Berkomunikasi Secara Efektif dengan Siswa-Siswanya
3.   Guru Harus Mengembangkan Strategi Pembelajaran yang Membelajarkan
4.   Guru Harus Mampu Menguasai Kelas
5.   Guru Harus Mampu Mengevaluasi Secara Benar


BAB IV
MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH SEBAGAI SEBUAH AGENDA PEMBAHARUAN

A.  Posisi Manajemen dalam Pengembangan Sekolah
Pengembangan, peningkatan, dan perbaikan pendidikan harus dilakukan secara holistik dan simultan, tidak boleh parsial walaupun mungkin dilakukan bertahap. Perbaikan sector kurikulum, tenaga guru dan fasilitas serta sarana pembelajaran, tidak akan terlalu membawa perubahan signifikan jika disertai dengan perbaikan pola dan kultur manajemen yang mendukung perubahan-perubahan tersebut.
Sekolah merupakan organisasi, yakni unit sosial yang sengaja dibentuk oleh berepa orang yang satu sama lain berkoordinasi dalam melaksakan pekerjaannya untuk menacapai tujuan bersama.  Sekolah merupakan sebuah unit sosial, karena di dalamnya terdiri dari beberapa orang yang menyatu bukan oleh faktor kebetulan tetapi dengan sebuah kesengajaan, yakni mereka sengaja untuk menyatu walaupun melakukan tugas yang berbeda satu sama lain dalam rangka mencapai satu tujuan bersama.
Pendidikan di Indonesia kini telah memasuki era perubahan yang ketiga, setelah sebelumnya pendidikan itu milik masyarakat yang menyatu dalam lembaga-lembaga keagaamaan, sarau, masjid, dan pesantren-pesantren sebagai pengembangan fungsi dari masjid menjadi lembaga pendidikan. Kemudian pendidikan menjadi program pemerintah, dan dikelola secara sentralistis baik perencanaan. Kini rakyat memperolhe kembali hak partisipasinya dalam mengembangkan kualitas pendidikan, sebagaimana dikemukakan pada pasal 4 ayat 1.
Salah satu harapan demokratisasi sektor pendidikan adalah agar seluruh komponen dan kukuatan masyarakat terlibat dalam melakukan berbagai perubahan dan perbaikan sektor pendidikan menuju hasil pendidikan yang berkualitas. Demokrasi pengelolaan pendidikan berarti mendorong tanggung jawab peningkatan dan perbaikan kualitas pada tenaga guru dan kepala sekolahnya untuk mengorganisasi berbagai program pendidikan.
Oleh sebab tiu, seorang kepala sekolah yang memiliki peran sentral dalam kepemimpinan sekolah, harus memiliki kualifikasi-kualifikasi sebagai berikut:
1.   Memiliki sikap yang responsive terhadap kebutuhan dan harapan dari para koleganya, menghargai keahlian dan keterampilan dari para guru dan selalu berusaha untuk mengoptimalkan pemanfaatan keahlian koleganya itu untuk siswa-siswanya.
2.   Seorang kepala sekolah demokratis juga harus selalu mencari dan menciptakan forum-forum formal maupun oinformal untuk menguji dan mengelaborasi inisitif kebijakan.
3.   Seorang kepala sekolah democratis harus lebih menonjolkan keahlian daripada otoritas affical, yakni pengambilan putusan tentang sesuatu harus dipertimbangkan berdasarkan pandangan dan pendapat mereka yang memiliki pengetahuan dan keahlian tentang hal tersebut daripada menggunakan otoritas kepemimpinan. 
Sekolah akan mencapai performa terbaik jika dipimpin oleh seorang kepala sekolah yang kuat, visioner, konsisten, demokratis, dan berani mengambil keputusan-keputusan strategis. Kemudian dia mampu menyampaikan gagasan-gagasan besar sekolahnya serta prestasi-prestasi siswanya pada semua anggota organisasi, dan mampu mendorong motivasi guru, staf, dan siswa-siswanya untuk terus berprestasi dan menunjukkan prestasi terbaik.
Manajemen merupakan proses mengarahkan, mengoorganisasikan, dan memengaruhi operasinal organisasi untukl memperoleh hasilyang diinginkan, serta meningkatkan performa organisasi secara keseluruhan. Dalam konteks pendidikan, manajemen sekolah adalah proses koordinasi yang terus-menerus dilakukan oleh seluruh anggota organisasi untuk menggunakan seluruh sumber daya dalam upaya memenuhi berbagai tugas organisasi yang dilakukan dengan efisien. Koordinasi maksudnya koordinasi anatara guru dengan kepala sekolah, dan dengan tata usaha, serta anatara tata usaha dengan kepala sekolahnya.
Oleh sebab itu, manajemen pendidikan, dalam kontek ini sekolah secara tidak langsung menuntut seorang kepala sekolah agar dapat mengkoordinasikan sekolahnya dengan baik. Hal tersebut menuntut kepala sekolah untuk memiliki kemampuan-kemampuan tersendiri, dalam hal ini misalnya, kemampuan manajerial yang meliputi:
a.   Kemampuan mencipta
b.   Kemampuan mempuat perencanaan
c.   Kemampuan mengorganisasi
d.   Kemampuan berkomunikasi
e.   Kemampuan member motivasi
f.    Kemampuan melakukan evaluasi.
Seorang kepala sekolah, selain harus linier antara tugas  dengan basis keahlian, juga harus memiliki berbagai pengalaman majajerial, dengan menjabat jabatan yang lebih rendah, serta mengikuti berbagai pelatihan yang relevan, sehingga memahami bidang-bidang tugasnya secara teoritis tetapi juga implementasi lapangannya.
Kepala sekolah harus mampu merumuskan  perencaan-perencanaan misi dan visi sekolah untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Perencaaan sekolah itu dikembangkan bukan dengan cara melamun atau menghayal, tetapi harus didasarkan pada visi apa yang harus diwujudkan dalam beberapa tahun ke depan, lalu misi apa yang dapat dikembangkan dan apa tujuan yang harus dicapai dalam jangka waktu tertentu. Semua itu merupakan variable-variabel yang perlu dipertimbangkan dalam menyusun sebuah perencanaan.

B.   Manajemen Berbasis Sekolah
MBS adalah upaya serius yang rumit, yang memunculkan berbagai isu kebijakan dan melibatkan banyak lini kewenangan dalam pengambilan keputusan serta tanggung jawab dan akuntabilitas atas konsekuensi keputusan yang diambil. Oleh sebab itu, semua pihak yang terlibat perlu memahami benar pengertian MBS, manfaat, masalah-masalah dalam penerapannya, dan yang terpenting adalah pengaruhnya terhadap prestasi belajar murid.
Manajemen berbasis sekolah dapat bermakna adalah desentralisasi yang sistematis pada otoritas dan tanggung jawab tingkat sekolah untuk membuat keputusan atas masalah signifikan terkait penyelenggaraan sekolah dalam kerangka kerja yang ditetapkan oleh pusat terkait tujuan, kebijakan, kurikulum, standar, dan akuntabilitas. Tampaknya pemerintah dari setiap negara ingin melihat adanya transformasi sekolah. Transformasi diperoleh ketika perubahan yang signifikan, sistematik, dan berlanjut terjadi, mengakibatkan hasil belajar siswa yang meningkat di segala keadaan (setting), dengan demikian memberikan kontribusi pada kesejahteraan ekonomi dan sosial suatu negara. Manajemen berbasis sekolah selalu diusulkan sebagai satu strategi untuk mencapai transformasi sekolah.
Manajemen berbasih sekolah (MBS) merupakan salah satu isu yang kuat didorong dalam permukaan dalam konteks implimentasi gagasan reformasi pendidikan yang direfleksikan dalam UU nomor 20 tahun 2003 tentang sitem pendidikan nasional, sebagai kebijkan afirmatif terhadap UU no. 22 tahun 1999 yang mengotonomisasikan sektor pendidikan pada daerah.
Manajemen berbasis sekolah telah dilembagakan di tempat-tempat seperti Inggris, dimana lebih dari 25.000 sekolah telah mempraktikkannya lebih dari satu dekade. Atau seperti Selandia Baru atau Victoria, Australia atau di beberapa sistem sekolah yang besar di Kanada dan Amerika Serikat, dimana terdapat pengalaman sejenis selama lebih dari satu dekade. Praktik manajemen berbasis sekolah di tempat-tempat ini tampaknya tidak dapat dilacak mundur. Keberhasilan MBS di beberapa negara maju kini didorong pula negara-negara berkembang, bahkan Indonesia Indonesia yang kini sedang melakukan reformasi pendidikan, mengangkat konsep SBM sebagai salah satu dari paket reformasi pendidikan, walaupun belum ada uji coba, dan bahkan belum ada hasil uji coba lokal yang memperkuat serta mendukung implimentasi MBS tersebut sebagai sebuah kebijakan. Akan tetapi menurut Joseph Murphy (Murphy, 1995:13) secara konsepsional MBS masih belum jelas. Kendati demikian para ahli tetap menyampaikan beberapa pengertian , seperti Etheridge menyatakan bahwa MBS adalah sebuah proses formal yang melibatkan kepala sekolah, guru, orang tua siswa, siswa, dan masyarakat yang berada dekat dengan sekolah.
Murphy menyampaikan beberapa kesimpulan-kesimpulan tentang unsure esensial dalam otonomi sekolah dengan pola MBS sebagai berikut
1.   MBS adalah delegasi (Lindquit dan Mauriel)
2.   Esensi MBS adalah pemindahan tanggung jawab pengambilan putusan sekolah dari pemerintah pusat dan daerah pada sekolah itu sendiri (Garms)
3.   Menurut Crosby, fondasi SMBdistribusi kewenangan dalam pengambilan putusan.
4.   Tulang punggung dari SBM adalah distribusi kewenangan dalam pengambilan keputusan(David J.L.)
5.   Inti dari MBS adalah pengembangan tanggung jawab pengambilan putusan terhadap stake holder sekolah dan dilakukan di sekolah.(Mojkowski)
Dalam MBS, kewenangan sekolah tidak sebatas pengaturan alokasi waktu, serta implementasi kurikulum dan strategi, tapi diperluas seperti, terkait dengan penetapan kurikulum, memutuskan alat-alat yang dibutuhkan sisiwa terkait dengan teknologi, terkait dengan kewenangan, material yaitu keputusan penggunaan fasilitas, serta alat-alat pembelajaran. Serta terkait dengan memutuskan tentang kompetensi SDM dan proses peningkatan kompetensi mereka baik dalam penguasaan bahan ajar, strategi pembelajaran, teknik evaluasi maupun berbagai keterampilan keguruan lainnya.
    Masyarakat Sekolah
Ada dua kategori masyarakat sekolah yaitu, ¬pertama, unsure-unsur sekolah, yang jika salah satu unsure tersebut tidak ada, maka proses sekolah tersebut menjadi terganggu, inilah yang biasa disebut stake holder. Oleh sebab itu, dalam konotasi ini, guru, kepala sekolah, siswa, orang tua sisiwa dan pemerintah, dalam salah satu konteks biasa disebut sebagai client sekolah, yakni pelanggan sekolah.kedua, unsure-unsur yang diharapkan dapat memberikan pertimbangan-pertimbangan dalam pengembangan serta pembinaan personalia. Kelompok ini, biasa disebut komite sekolah.
Tugas-tusas komite sekolah itu sendiri adalah sebagai berikut:
1.   Mengembangkan akses sekolah pada dana, sehingga sekolah mampu membangkitkan berbagai sumber dana potensial untuk mendukung proses pembelajaran siswa.
2.   Mengembangkan budgeting sekolah dalam konteks pengembangan kemampuan pembiyaan untuk mendanai berbagai program sekolah.
3.   Memutuskan struktur anggaran sekolah
4.   Berpartisipasi dalam pemilihan kepala sekolah dan wakil kepala sekolah
5.   Ikut serta dalam curah pendapat kurikulum dalam konteks peningkatan kualitas hasil pembelajaran, dan member masukan-masukan pada sekolah tentang kualifikasi kompetensi siswa yang akan dihasilkan sekolah.

C.   Total Quality Manajemen dalam Pendidikan
Dalam dunia persaingan  global yang tajam saat ini, orang banyak berbicara tentang “mutu”  terutama berhubungan dengan pekerjaan yang menghasilkan produk dan/atau jasa. Suatu produk dibuat karena ada yang membutuhkan, dan kebutuhan tersebut berkembang seiring dengan tuntutan mutu penggunanya.
Total Quality Management (TQM) atau disebut  Manajemen Mutu Terpadu (MMT) hadir sebagai jawaban atas kebutuhan akan mutu tersebut. Suatu produk dan/atau jasa  dibuat sedemikian rupa agar dapat memenuhi kebutuhan dan harapan pelanggannya. Titik temunya  antara harapan dan kebutuhan pelanggaran dengan  hasil produk dan/atau jasa itulah yang disebut “bermutu.” Jadi ukuran bermutu tidaknya suatu produk dan/atau jasa adalah pada terpenuhi tidaknya harapan dan kebutuhan pengguna/ pelanggan. Semakin tinggi tuntutan pengguna maka semakin tinggi kualitas mutu tersebut. Tulisan singkat ini ingin membahas bagaimana penerapan TQM/MMT dalam aktivitas pendidikan sebagai bahan pengantar mengenalinya
Total quality manajemen dalam pendidikan (TQM) sempat menjadi isu hangat dalam reformasi pendidikan di Indonesia, kendati kemudian agak mereda kembali dan tidak sebagaiman isu-isu lainnya. Isu ini dikembangkan secara serius sejak awal decade 19900an oleh para peneliti pendidikan di USK dan UK sebagai upaya mencari jawaban untuk pengembangan dan peningkatan kualitas pendidikan.
TQM selalu dikaitkan dengan teori William Edward Deming. Deming menekankan perbaikan-perbaikan yang tidak pernah henti, dan setiap apa yang dikerjakan selalu diawali dengan perencanaan, dan perencanaan tersebut diilhami dengan hasil yang telah dicapai sebelmunya, sehingga ada perbaikan-perbaikan untuk implementasi rencana berikutnya. TQM merupakan sebuah kelanjutan dalam perjalanan konsep manajemen untuk memperbaiki kualitas produk serta memberi kepuasan bagi pelanggan, baik dalam produk barang, jasa maupun pelayanan lainnya.
Dalam konteks pendidikan, ada dua wilayah kerja yang harus terus diperbaiki dalam rangka TQM, yakni layanan administrasi dan layanan akademik. Peningkatan kualitas layanan administrasi tidak cukup hanya dengan sikap senyum dan sikap ramah di hadapan orang tua sisiwa, siswa sendiri, pemerintah atau lainnya, tapi dialog, apa yang kurang, dan apa yang perlu diperbaiki dan apa yang ditingkatkan. Selain diinspirasi dengan berbagai literatur, hasil penelitian atau lainnya, juga harus diperkuat dengan assessement terhadap mereka langsung, sehingga memperoleh masukan yang sesuai ddengan kebutuhan rill pelanggan primer, skunder, dan terteriernya.
Implementasi TQM dalam layanan administrasi di sekolah harus dilakukan secara sitematis untuk mencapai perubahan pada level kualitas tertentu yang dapat ditunjukkan secara konsisten, sehingga dapat memenuhi harapan dan permintaan pelanggan. TMQ adalah perubahan yang tak pernah berakhir yang hanya dapat dicapai oleh dan melalui orang lain. Dengan demikian, TMQ menuntut perubahan permanen, selalu ada inovasi, dan selalu ada selalu ada rencana apa yang akan dikembangkan dan ditingkatkan selanjutnya. Untuk memperoleh hasil optimal, manajer harus mempercayai stafnya, dan delegasikan kewenangan pada staf sesuai kapabilitasnya untuk bertanggung jawab penuh dan melakukan pengambilan putusan pada level dan area tanggung jawabnya. Staf memerlukan kebesan untuk bekerja, sehingga inovasi dan kreatif dalam mendukung pencapaian tujuan organisasi.


BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Pembahasan Materi Buku
A.  Menuju Pendidikan Demokrasi
                       Buku ini adalah salah satu buku yang mencoba mengangkat tentang demokrasi pendidikan di Indonesia. Dalam bahasannya, buku ini memunculkan paradigma-paradigma pendidikan. Kemudian dalam buku ini diangkat tentang berbagai aspek pelaku pendidikan serta hal-hal ideal yang lahir akibat terjadinya revolusi pendidikan. Munculnya revolusi dalam pendidikan akhirnya menjadikan pendidikan sebagai suatu bahsan penting dalam unsur negera. Sehingga banyak hal yang diinovasikan dalam sistem dan pelaksanaan pendidikan di Indonesia.
  Isu reformasi pendidikan bukan sesuatu yang baru. Gagasan pembaharuan pendidikan sudah bergukir lama di Indonesia. Akan tetapi, reformasi di Indonesia merupakan sebuah gerakan yang memiliki perspektif sejarah politik monumental, karena era reformasi sebagai sebuah era pemerintahan subtanstitusi pemerintahan orde baru.
Reformasi pendidikan telah mengubah paradigma guru dari pekerjaan yang dedikasi tanpa mempertimbangkan profesionalisme, menjadi sebuah profesi, yakni seorang bisa berdiri di depan kelas untuk mendampingi para siswa mengembangkan proses pembelajarannya, jika telah terbukti memiliki kualifikasi professional, dengan empat kompetensi utama, yaitu kompetensi professional, pedagogik, personal dan sosial. Menurut Walker (1997:80), reformasi pendidikan itu meiliki jangkauan yang luas, yaitu menjangkau semua orang, kelompok  dan unsure-unsur yang terkait dengan pelaksanaan pendidikan, yakni siswa-siswi sekolah itu sendiri, para guru, orang tua siswa, pimpinan sekolah, kantor pemerintah, buku teks dan penerbit buku teks serta unsur-unsur lainnya.

B.   Demokrasi Pengembangan Kurikulum
Kurikulum merupakan inti dari sebuah sekolah, karena kurikulumlah yang mereka tawarkan kepada publiknya, dengan dukungan SDM guru yang berkualitas, serta sarana sumber belajar lainnya yang memadai. Dalam konteks ini Ronald C. Doll menjelaskan bahwa kurikulum sudah tidak lagi bermakna sebagai rangkaian bahan yang akan dipelajari serta urutan pelajaran yang akan dipelajari siswa, tetapi seluruh pengalaman yang ditawarkan pada anak-anak peserta didik di bawah arahan dan bimbingan sekolah (Doll, 1964:15). Melalui kesimpulannya, Doll hendak menegaskan bahwa kurikulum itu adalah perencanaan yang ditawarkan, bukan yang diberikan, karena pengalaman yang diberikan guru belum tentu ditawarkan. Dengan demikian seluruh konsep pendidikan di sekolah itu bisa harus ideal. Kurikulum harus bicara keharusan, dan bukan kemungkinan.
       Pengembangan kurikulum dianngap sebagai salah satu hal yang sangat urgen dalam penataan pendidikan yang baik. Sebab, Sanjaya (2005:17) mengemukakan bahwa pada hakikatnya kurikulum berfungsi sebagai alat pendidik untuk mempersiapakan anggota masyarakat yang dapat mempertahankan dan mengembangkan sistem nilai dalam masyarakatnya sendiri.
Bersamaan dengan itu, Allan A.Glatthorn juga menjelaskan tiga variabel penting dalam        pengelolaan dan pengembangan sekolah, dan menjadi bagian integral dari hidden    curriculum (Glatthorn, 1987:22), yaitu:
4.   Variabel organisasi, yakni kebijakan penugasan guru dan pengelompokan siswa untuk proses pembelajara n, yang dalam konteks ini ada empat isu yang pantas menjadi perhatian, yakni team teaching, kebijakan promosi (kenaikan kelas), pengelompokan siswa berdasarkan kemampuan, dan pemfokusan kurikulum.
5.   Variabel sistem sosial, yakni suasana sekolah yang tergambar dari pola-pola hubungan semua komponen sekolah..
6.   Variabel budaya, yakni dimensi sosial yang terkait dengan sistem kepercayaan, nilai-nilai, dan struktur kognitif.

C.   Mengajar yang Membelajarkan
Dalam hal pembelajaran, Hunt dan Moore mendorong konsep reflective teaching yang pionernya adalah Donald Cruickschannk, yang mengangkat teori bahwa guru diharuskan untuk merancang strategi sebelum dan dalam proses pembelajaran. Rancangan strategi harus didasari oleh pengalaman-pengalaman. Sedangkan rangcangan proses didasari dari kondisi aktual. Selain itu, guru dan siswa juga dituntut untuk membuat refleksi tentang hasil dari proses pembelajaran. Sebab, hal itu sangat berguna untuk meningkatkan kualitas pembelajaran.
Dalam hal mengajar dan membelajarkan, Sanjaya, (2005:73-74) mengemukakakn bahwa mengajar merupakan sebagai proses penyamapain informasi atau pengetahuan dari guru kepada siswa. Namun, tugas seorang guru di sisni tidak hanya sekedar mentransfer informasi-informasi pengetahuan saja. Akan tetapi guru juga dituntut agar dapat membinan, membimbing dan mengarahkan siswanya. Jadi, guru yang ideal tugasnya bukan hanya memberi informasi semata.

D.    Manajemen Berbasis Sekolah sebagai Sebuah Agenda Pembaharuan                                                          
Dalam mewujudkan suatu perubahan di sekolah, hendaknya semua pihak mangambil perannya masing-masing. Soetjipto (1994:119) mengemukakan bahwa untuk tercapainya tujuan kerja diperlukan adanya kerjasama yang baik dari berbagai komponen. Sebab, tanpa adanya keikutsertaan dan dukungan banyak pihak sangat sulit untuk tercapianya sebuah perubahan sebagaimana yang diharapkan.
Pengembangan, peningkatan, dan perbaikan pendidikan harus dilakukan secara holistik dan simultan, tidak boleh parsial walaupun mungkin dilakukan bertahap. Perbaikan sektor kurikulum, tenaga guru dan fasilitas serta sarana pembelajaran, tidak akan terlalu membawa perubahan signifikan jika disertai dengan perbaikan pola dan kultur manajemen yang mendukung perubahan-perubahan tersebut.
Sekolah merupakan organisasi, yakni unit sosial yang sengaja dibentuk oleh berepa orang yang satu sama lain berkoordinasi dalam melaksakan pekerjaannya untuk menacapai tujuan bersama.  Sekolah merupakan sebuah unit sosial, karena di dalamnya terdiri dari beberapa orang yang menyatu bukan oleh faktor kebetulan tetapi dengan sebuah kesengajaan, yakni mereka sengaja untuk menyatu walaupun melakukan tugas yang berbeda satu sama lain dalam rangka mencapai satu tujuan bersama.
Salah satu harapan demokratisasi sektor pendidikan adalah agar seluruh komponen dan kukuatan masyarakat terlibat dalam melakukan berbagai perubahan dan perbaikan sektor pendidikan menuju hasil pendidikan yang berkualitas. Demokrasi pengelolaan pendidikan berarti mendorong tanggung jawab peningkatan dan perbaikan kualitas pada tenaga guru dan kepala sekolahnya untuk mengorganisasi berbagai program pendidikan.

4.2 Kelebihan
Buku yang berjudul Paradigma Pendidikan Demokratis “ Sebuah Model Pelibatan Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Pendidikan”, penulis Dr. Dede Rosyada, MA sudah dapat dikatakan bagus karena sudah sudah mencakup sebagian penjelasan mengenai proses dan perkembangan pendidikan serta penerapan sistem demokrasi dalam pelaksanaan pendidikan di Indonesia. Selain itu, buku tersebut menggunakan bahasa yang mudah dimengerti. Jadi bagi yang membaca buku itu, bisa dengan mudah memahami isi dari buku tersebut. Serta buku ini juga dilengkapi berbagai referensi sehingga memiliki cangkupan yang begitu luas.

4.3 Kelemahan
Buku yang berjudul Paradigma Pendidikan Demokratis “ Sebuah Model Pelibatan Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Pendidikan”, menurut saya masih memiliki kekurangan. Kekurangan yang dimaksud seperti kurang lengkapnya materi yang dibahas serta penjelasannya hanya pada bagaimana sistem demokratis diterapkan dalam pelaksaan pendidikan saja sehingga pembaca tidak dapat membuat perbandingan dengan pelaksanaan pendidikan yang pada umumnya yang tidak melibatkan masyarakat dalam proses dan pengembangan pendidikan. Selain itu, penjelasan dari setiap bab, atau pokok materi terlalu singkat. Tidak dijelaskan sedetail mungkin. Jadi kalau memang kita ingin mengetahuinya atau mendapat ilmunya, kita harus mencari literatur yang lain. Selanjutnya, sampul buku tersebut menurut saya kurang menarik sehingga kurang menarik perhatian pembaca.





BAB V
PENUTUP
5.1.   Kesimpulan
1.   Setelah membaca dan memahami penjelasan serta isi dari buku Paradigma Pendidikan Demokratis dapat disimpulkan bahwa reformasi bidang pendidikan Indonesia ditandai dengan perubahan radikal pada alur kebijakan pendidikan nasional yang saat ini bertumpu pada dual hal yaitu otonomi dan demokratisasi.
2.   Buku ini juga menyimpulkan bahwa semakin besarnya tanggung jawab yang diemban oleh Kepala Sekolah dan semakin lebar peluang masyarakat untuk ikut berpartisipasi aktif dalam penyusunan, pengembangan dan pengimplementasian demokrasi dalam kurikulum.
3.   Buku karya Dr. Dede Rosyada, MA ini mempuyai banyak kelebihan baik dari segi sistematika penulisannya, kedalaman materi maupun kejelasan isi buku. Namun disisi lain, buku ini memiliki kelemahan dari segi keluasan materi yang disajikan dimana buku tersebut hanya memuat lima bab saja.

1.2. Saran
Adapun saran yang bisa saya berikan terhadap buku Paradigma Pendidikan Demokrasi ini adalah: 
a)   Untuk penerbitan selanjutnya, sampul perlu diperbaharui agar lebih menarik sehingga meningkatkan minat pembaca untuk membacanya.
b)  Kiranya untuk edisi selanjutnya, materi yang dibahas diperluas sehingga pembaca lebih mudah memahami serta lebih banyak menemukan informasi.
c)   Perlunya tambahan sumber – sumber dari yang lain sehingga penjelasannya mengenai perkembangan serta sistem pendidikan lebih lengkap serta lebih mudah untuk dipahami.

Posting Komentar

0 Komentar